10 NASIHAT YANG MENYELAMATKAN
Oleh : Miskun, S.Pd, M.P.d
Kepala SD Muhammadiyah Kebumen
Chapter
1#
PENTINGNYA NASIHAT
A. Pentingnya Nasihat
Manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah
lupa. Pada satu waktu ia berbuat baik, namun pada waktu lain berbuat buruk.
Suatu saat ia ingat, pada saat lain lupa. Pada satu waktu ia benar, pada waktu
lain salah. Di sinilah pentingnya nasihat dan
saran untuk mengingatkan. Melalui nasihat, orang salah menjadi benar, orang
baik menjadi lebih baik, orang lupa menjadi ingat, dan seterusnya.
Sebuah keburukan bukan untuk dilanjutkan,
apalagi sampai menjadi budaya, melainkan diperbaiki. Hal tersebut perlu nasihat
dan peringatan. Pengetahuan manusia terbatas, tak bisa menjangkau segala hal.
Ia perlu mendengarkan nasihat orang lain karena terkadang Allah memberikan
petunjuk kepadanya melalui nasihat orang lain.
B. Arti Nasihat
Pengertian nasihat menurut Al Khottobi rahimahullah,
النصيحةُ كلمةٌ يُعبر بها عن جملة هي إرادةُ
الخيرِ للمنصوح له
“Nasehat adalah kalimat ungkapan yang
bermakna memberikan kebaikan kepada yang dinasehati” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 219).
Sedangkan menurut Al Hasan Al Bashri :
إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين
يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة
“Sesungguhnya hamba yang dicintai di
sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba
Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada orang lain.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 224).
C. Perintah Salin Menasihati
Allah Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
”Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui
akan kelemahan dan kelebihan yang ada pada diri hamba-Nya. Oleh karenanya Allah
menurunkan Islam sebagai nasehat bagi siapapun yang menginginkan kebahagiaan
yang hakiki. Siapapun yang meyakini, memahami, menjalankan dan berkomitmen pada
nilai, ajaran dan nasehat Islam, ia pasti akan menggapai kebahagiaan itu, Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ
أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ
وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus
Ad-Daari ra, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?”
Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin
kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim).
Dari hadist tersebut, Nabi shallallahu
’alaihi wasallam menekankan nasehatnya pada lima hal utama yaitu:
Pertama,
lillahi (untuk Allah). Maksudnya adalah keharusan dan kewajiban kita untuk
bertauhid kepada Allah dengan lurus dan benar secara lahir maupun batin. Nilai
tauhid inilah yang akan membawa perubahan dalam kehidupan kita ke arah yang
diridhai dan diberkahi oleh-Nya.
Kedua,
likitabihi (untuk kitab-Nya). Maksudnya, kita harus serius mempelajari dan
memahami Al-Qur’an dengan benar, serta berusaha menerapkannya dalam semua sisi
kehidupan sehingga terwujudlah irama dan harmoni kehidupan yang indah mempesona
serta memikat hati.
Ketiga,
lirasulihi (untuk rasul-Nya). Maksudnya, kita diperintahkan untuk meyakini dan
menelaah dengan baik contoh nyata kehidupan para nabi, khususnya Nabi kita
Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, untuk kemudian kita wujudkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Keempat,
lia’immatil muslimin (untuk para pemimpin umat Islam). Para pemimpin umat
memiliki tanggung jawab dan andil besar dalam mengarahkan dan membimbing
kehidupan masyarakat. Karena itu mereka haruslah orang yang betul-betul
berkualitas, berkapasitas, kredibel, memahami persoalan umat dan mampu
menyelesaikannya berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Kemudian, jika
mereka melakukan kesalahan hendaknya diberi nasehat. Adapun jika mereka berada
diatas kebenaran maka hendaknya kita taat dan mendukung mereka.
Kelima,
untuk umat Islam seluruhnya. Maksudnya, masyarakat muslim hendaknya memahami
hak dan kewajiban mereka untuk saling menasehati satu sama lain.
Integrasi lima hal ini akan melahirkan
kesadaran yang tinggi pada diri semua pihak akan hak dan kewajiban
masing-masing, hingga terwujudlah kesatuan pemahaman, sikap dan langkah dalam
memperbaiki kualitas kehidupan berdasarkan nilai dan nasehat Islam.
Dan Allah Ta’ala telah
mengumpulkannya dengan menyebutkannya di dalam surat Al ’Ashr,
وَالْعَصْرِ
(1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal sholih, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati
supaya tetap di atas kesabaran” (QS. Al-’Ashr
[103]: 1-3).
Allah Ta’ala memberikan petunjuk
kepada hamba-Nya di dalam surat yang ringkas namun sangat agung ini bahwa sebab
keberuntungan itu terbatas kepada empat sifat saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menasehati sesama muslim (selain ulil amri) berarti
adalah menunjuki berbagai maslahat untuk mereka yaitu dalam urusan dunia dan
akhirat mereka, tidak menyakiti mereka, mengajarkan perkara yang mereka tidak
tahu, menolong mereka dengan perkataan dan perbuatan, menutupi aib mereka,
menghilangkan mereka dari bahaya dan memberikan mereka manfaat serta melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar.” (Syarh Shahih Muslim, 2: 35).
Nasehat dari Umar ra. pernah menyatakan:
رحم
الله امرأً أهدى إلينا مساوئنا.
Artinya: “Semoga Allah merahmati orang
yang menunjuki kita kekurangan-kekurangan kita.”
(Adabuddin wad Dunya)
D. Adab memberi
Nasihat
1. Nasihat yang paling baik adalah nasehat
yang diberikan ketika seseorang meminta nasihat.
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
bersabda, ’Jika seseorang meminta nasehat, maka nasehatilah ia.” Kemungkinan
besar, seseorang yang meminta nasihat akan merasa lebih siap untuk menerima
berbagai macam nasihat yang disampaikan kepadanya.
2. Nasehat hendaknya
diniatkan untuk perbaikan dan disampaikan dengan penuh keikhlasan. Niat yang
tulus dan ikhlas akan merasuk dalam kata-kata yang terucap oleh lidah ketika
sebuah nasihat disampaikan. Dalam keadaan ini, seolah-olah sang pemberi nasihat
berbicara dari lubuk hatinya, dan berusaha untuk memasuki relung hati orang
yang ia beri nasihat. Nasihat yang demikian biasanya lebih mengena di hati
orang yang diberi nasihat.
3. Pertimbangkanlah
waktu, situasi dan kondisi. Juga, sampaikanlah nasihat dengan cara yang
menyejukkan agar nasehat lebih mengena. Nasihat yang sama bisa jadi akan
ditangkap dan dipahami berbeda jika disampaikan pada waktu, situasi dan kondisi
yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai mencari waktu, situasi
dan kondisi yang pas dan kondusif. Demikian pula tata cara kita dalam
memberikan nasehat akan sangat berpengaruh pada seberapa jauh nasihat kita bisa
diterima. Jika disampaikan dengan cara yang halus dan bahasa yang baik,
insyaallah nasihat akan lebih mudah diterima. Berbeda halnya jika sebuah
nasihat disampaikan dengan cara yang kasar dan menyakitkan.
4. Berikanlah
motivasi (dorongan) bukan justifikasi (menghakimi). Jangan sekali-kali kita
memberikan nasihat dengan cara menghakimi, karena setiap orang pasti tidak suka
dihakimi. Nasihat yang menghakimi bisa-bisa justru menyebabkan orang yang
diberi nasihat merasa putus asa dan patah semangat. Atau jika tidak, bisa jadi
ia akan resisten pada nasihat yang kita sampaikan.
5. Berikanlah
alternatif solusi dan jangan malah memperburuk situasi. Orang yang butuh
nasihat pada dasarnya memerlukan bantuan. Oleh karena itu, hendaknya kita
membantunya dan bukan malah mempersulit keadaannya.
6. Nasehat sebisa
mungkin disampaikan dengan tidak diketahui oleh orang lain, agar dapat menutupi
kekurangan dan aib saudara kita. Jangan sampai kita menasehati seseorang dengan
cara menghujat dan memaki-makinya didepan orang banyak.
7. Dalam kondisi kita
yakin bahwa orang yang akan kita nasehati akan menerima dan tidak bereaksi
negatif pada nasehat kita, kita wajib memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya
orang yang akan kita nasehati justru akan bereaksi negatif bahkan membahayakan
jiwa, maka dalam kondisi ini kita bisa memilih untuk menasehati atau tidak.
Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita
dengan nasehat agama-Nya melalui orang-orang yang ikhlas dalam menyampaikanny
E. Hikmah, Tujuan dan Manfaat Nasihat
1. Cambuk hati
Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbaly rahimahullah
berkata,
المواعظ سياط تضرب القلوب فتؤثر في القلوب كتأثير السياط في البدن.
"Nasihat-nasihat
adalah cemeti yang mencambuk hati. Ia memberi bekas pada hati seperti bekas
cambukan pada badan. (Lathaiful Ma’arif,
hlm. 16)
2.
Menegakkan hujjah Allah Ta’ala atas hamba-Nya
Allah ta’ala berfirman:
رُسُلًا
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ …
“(Mereka
kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
Rasul-Rasul itu …” (QS. An-Nisaa’: 165).
3.
Sebagai alasan kepada Allah Ta’ala (bahwa ia telah melaksanakan tanggung
jawabnya) dan terlepas dari beban kewajiban.
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang shalih tentang suatu kaum yang mana
sebagian mereka melanggar aturan-Nya yang ditetapkan pada hari Sabtu. Allah Ta’ala berfirman:
…
قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“… Mereka menjawab: ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung
jawab) kepada Rabb-mu, dan supaya mereka bertaqwa.”
(QS. Al-A’raaf: 164)
4.
Mengharapkan adanya manfaat (perubahan) bagi orang-orang yang dinasehati.
Seperti firman Allah Ta’ala :
وَذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan
tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzaariyaat:
55).
5.
Mengharap pahala dari Allah Ta’ala
Karena dakwah melalui nasehat adalah salah satu pintu yang agung dari
pintu-pintu kebaikan.
6. Sebagai nasehat bagi kaum muslimin dan sebagai ungkapan
kasih sayang terhadap mereka.
Cinta akan kebaikan untuk mereka, suka
menyelamatkan mereka dari hal-hal yang akan menjerumuskan diri mereka pada
sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan akibat siksa yang akan dideritanya di
dunia dan di akhirat.
Chapter
2#
A.
Pentingnya mempelajari
ilmu agama
Dalam Islam kebutuhan manusia terhadap
ilmu syar’i (ilmu agama) sangat tinggi, maka menuntut ilmu syar’i menempati kedudukan yang sangat
penting dan mendasar di antara ajaran-ajaran Islam yang
lainnya.
Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ
وَالشَّرَابِ. لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي
الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ. وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ
أَنْفَاسِهِ
“Kebutuhan
manusia terhadap ilmu (syar’i) itu melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan
minuman. Hal itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman hanya sekali
atau dua kali (saja), adapun kebutuhannya terhadap ilmu (syar’i) itu
sebanyak tarikan nafasnya.” [Madaarijus Saalikiin, 2/440] dan (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297)
Menurut
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebutuhan orang pada
ilmu agama seperti kebutuhan orang pada air hujan, bahkan ilmu itu lebih
dibutuhkan. Karena jika tidak memiliki ilmu tersebut sama halnya dengan tanah
yang tidak pernah mendapati air hujan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:245-246).
Menurut Al-Hasan
rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud
terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.”
Hal ini sejalan dengan hadist Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
فَضْلُ
الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَخَيْرُ دِيْنِكُمُ الْوَرَعُ.
“Keutamaan ilmu
lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’
(ketakwaan).” Hadits
hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan
al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’
Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96)
Menurut ‘Ali bin
Abi Thalib (wafat th. 40 H) radhiyallaahu ‘anhu
berkata, “Orang yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang
puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.”
Menurut Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui
satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh
puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.”
Menurut Imam
asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah
mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban
syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.
B. Keutamaan
menuntut ilmu agama
1.
Orang yang berilmu akan Allah angkat derajatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan
beriman. Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang
yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’,
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
[Al-Mujaadilah/58:11][3]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ
اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya
Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendah-kan
beberapa kaum dengannya.” Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817)
Allah pun telah berfirman tentang Nabi
Yusuf ‘alaihis salaam:
نَرْفَعُ
دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
Kami angkat
derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap orang yang berpengetahuan
itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf/12:76]
Disebutkan bahwa tafsir ayat di atas
adalah bahwasanya Kami (Allah) mengangkat derajat siapa saja yang Kami
kehendaki dengan sebab ilmu. Sebagaimana Kami telah mengangkat derajat Yusuf
‘alaihis salaam di atas saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.
2. Orang yang berilmu
adalah orang-orang yang takut kepada Allah
Allah mengabarkan bahwa
mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah
mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah
berfirman:
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Di antara
hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir/35:28]
Ibnu Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut
sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai
suatu kebodohan.” Diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam
al-Jaami’ (II/812, no. 1514).
Imam Ahmad
rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” Apabila
seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takutnya kepada Allah.
Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).
3. Faham dalam masalah agama termasuk
tanda-tanda kebaikan
Dalam ash-Shahiihain dari
hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.
“Barangsiapa
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama
kepadanya.”Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95,
96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.
Ini menunjukkan bahwa
orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan
oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia
menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman
dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian,
yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H)
rahimahullaah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu,
mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan
menuntunnya kepada ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.”
4. Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan
Imam
Syafi’I rahimahullah yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam muqaddimah karya beliau
al Majmu’. Imam Nawawi berkata
قال الشافعي رحمه الله تعالى : من أراد
الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم
Imam
Syafi’i RA berkata : Barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) dunia hendak
lah dengan ilmu barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) akhirat
hendaklah dengan ilmu. “.
Imam Ahmad dan
at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th.
13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
…
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا
فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ،
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ
يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ
فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا
فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ
فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ
وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ
لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا
سَوَاءٌ.
“…Sesungguhnya
dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu
dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia
menyambung silaturahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut
kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan
ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata,
‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang
dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3)
Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia
tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya,
tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di
dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah).
Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia
berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang
dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam
mendapatkan dosa.” Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu
Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
(XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870),
dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan
at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).
5. Orang yang menuntut
ilmu akan dido’akan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ
زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ
فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ
بِفَقِيهٍ
Dari Zaid bin
Tsabit ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda“Semoga Allah mencerahkan wajah kepada orang
yang mendengar sabdaku, kemudian dia menghafalkannya dan menyampaikannya pada
yang lain. Betapa banyak orang yang menyampaikan hadits, namun dia tidak
memahaminya. Terkadang pula orang yang menyampaikan hadits menyampaikan kepada
orang yang lebih paham darinya.” (HR.
Abu Daud, Ibnu Majah dan Ath Thobroni. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih).
Nadhrah itu kecerahan di wajah, kebahagiaan itu di hati. Nikmat dan
baiknya hati akan tampak pada wajah. … Nadhrah ini adalah cerah di wajah bagi yang mendengar sunnah Rasul,
menghafalkannya, dan menyampaikannya. Itulah akhirnya berpengaruh pada hati dan
batinnya. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:273.
Seandainya keutamaan ilmu
hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan kemuliaannya.
Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda
beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat
tingkatan ilmu:
Tingkatan pertama
dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya.
Apabila ia mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya,
memikirkannya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana ditempatkannya
sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar darinya. Demikian juga
akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga ia tidak lari kesana-kemari.
Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk menyimpan sesuatu.
Tingkatan ketiga,
yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.
Tingkatan keempat,
yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan
hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.
Barangsiapa melakukan
keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan
adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan
kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan
berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:
تَعْرِفُ
فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
“Kamu dapat mengetahui dari wajah
mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin/83:24]
Jadi, kecerahan dan
berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil
dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya.[28]
Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah, baik di
dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala
menyampaikannya pada kenikmatan Surga.
Perawi hadits yang dido’akan
oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah perawi
lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa banyak
orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun
selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih
yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).
Ini menunjukkan tentang
disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya (terlebih
dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan
bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits
tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia
berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[29]
6.
Penuntut ilmu disamakan jihad di jalan Allah Allah Ta’ala
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ
الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Siapa
yang keluar menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi, no. 2647. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan pula bahwa hadits ini dha’if).
Abu Ad-Darda’ berkata, “Siapa yang
menganggap bahwa berjihad dengan ilmu bukanlah jihad, maka ia akal dan
logikanya telah salah.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:269-270)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad
melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
Pertama:
berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar
(amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat kecuali dengannya.
Kedua:
berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
Ketiga:
berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Keempat:
berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap
gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata
karena Allah.
Apabila keempat tingkatan
ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang
Rabbani.[31]
7.
Dimudahkan jalan kesurga
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ
عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا
رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصنَعُ ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Dari Abu Hurairah
dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga."
Sesungguhnya para
Malaikat meletakkan sayap-sayapnya untuk para penuntut ilmu karena suka dengan
apa yang dia lakukan. Sesungguhnya seluruh makhluk di langit dan di bumi akan
memohonkan ampunan kepada orang yang berilmu, termasuk ikan ditengah-tengah
air. (Shahihul Jaami' 5/302
Abu Isa berkata;
ini adalah hadits hasan. (HR. Tirmidzi) Shahih menurur Muh. Nashiruddin Al
Albani.
Sumber : Disarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi
Syar’i, hal. 42-43.
C. Syarat memperoleh Ilmu
Pesan Imam Syafi'i bagi pencari ilmu
pengetahuan dalam mahfudzot atau kata mutiara tentang syarat memperoleh ilmu
adalah:
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ
إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ
وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
Wahai saudaraku… Ilmu tidak akan
diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya:
(1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) bekal (biaya),
(5)bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”
Berikut adalah penjelasan tentang 6 syarat
menuntut ilmu sebagaimana telah dituliskan diatas yang akan diurai secara
singkat.
ذَكَاءٌ
artinya Kecerdasan
Syarat pertama yaitu (ذَكَاءٌ ) zakaaun
yang artinya kecerdasan. Seorang yang hendak menuntut ilmu disyaratkan memiliki
kecerdasan kemampuan untuk menangkap materi pelajaran atau ilmu yang
disampaikan, didapatkan dengan pengalaman riset dan lain sebagainya.
Tanpa adanya kemampuan menangkap ilmu yang
didapat maka akan menjadi kesulitan bagi penuntut ilmu untuk menguasai keilmuan
yang di inginkan.
حِرْصٌ
artinya kemauan yang kuat
Dalam mencari ilmu tentu diperlukan
semangat dan kemauan untuk menguasai keilmuan yang di inginkan.
Apabila tidak ada kemauan yang kuat dari
orang yang menuntut ilmu maka kelakuannya untuk mendapatkan ilmu tidak bisa
maksimal.
Dengan begitu apabila hendak mencari ilmu
dan berhasil menguasai materi yang dipelajari maka harus ada kemauan yang
sangat kuat dari diri orang tersebut.
اجْتِهَادٌ
artinya
bersungguh-sungguh
Selain kemauan yang kuat, komponen yang
lain yaitu kesungguhan dalam mencarinya atau bersungguh – sungguh untuk
mendapatkan ilmu tersebut.
Macam macam cara yang menunjukkan
kesungguhan pencarian ilmu seperti rajin belajar, giat mengerjakan tugas,
banyak membaca, rutin membuat percobaan dan lain sebagainya.
Tentunya semangat dan kemauan yang kuat
tidak banyak berarti apabila dalam menuntut ilmu tidak dengan kesungguhan dan
bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
بُلْغَةٌ
artinya perbekalan yang cukup
Kesungguhan menuntut ilmu membuat
keniscayaan memerlukan biaya, bagi yang memang hendak menuntut ilmu maka perlu
dipersiapkan perbekalan yang memadai.
Entah biaya transportasi, uang SPP, dana
untuk penelitian, membeli buku dan peralatan maupun ragat membayar guru dan
gaji tempat belajar seperti pada sekolah swasta yang relatif tidak murah.
Jika perbekalan kurang mencukupi maka
proses pencarian ilmu bisa terganggu dan tersendat.
صُحْبَةُ
أُسْتَاذٍ artinya kedekatan dengan guru
Untuk mencapai keilmuan yang bagus maka
salah satu cara tercepat yaitu dengan belajar kepada ahlinya.
Dengan sering berkumpul dan banyak
menemani guru alias sang ahli dalam bidang yang kita pelajari bisa
memaksimalkan potensi transfer keilmuan kepada anda.
Kira-kira Seperti dalam lagu milik Cak Nun
(Emha Ainun Najib) yang berjudul “tombo ati” dalam rangkaian kalimat wong kang
soleh kumpulono (dan berkumpullah dengan orang yang soleh).
طُوْلُ
زَمَانٍ artinya waktu yang lama
Apabila memang berniat sungguh sungguh
dalam menuntut ilmu maka tidak hanya cukup dalam sehari dua hari seminggu dua
minggu, sebulan dua bulan, akan tetapi bertahun tahun.
Begitulah informasi tentang syarat
menuntut ilmu yang berjumlah 6 menurut Imam Syafi’i yang tertuang dalam kata
mutiara mahfudzot arab yang dilengkapi tulisan latin teks arab dan terjemah
bahasa Indonesia.
Chapter
3#
Menurut sebagian
ulama orang yang rajin mempelajari ilmu dengan benar (niat dan caranya) akan
melahirkan tiga muara atau terminal, yaitu sebagai berikut :
1. Tilawah
: budaya baca Menurut data UNESCO (United Nations of Educational,
Scientific, and Cultural Organization),
minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan peringkat dua dari bawah,
dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Padahal
peradaban manusia itu dimulai dari membaca,
مَا أَنَا بِقَارِئٍ
“Aku tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai
akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu
Yang menciptakan“
Fenomena manusia era sekarang semakin
memperihatinkan dalam budaya baca, coba lihat saja dimensos masing-masing akun
: (banyak informasi yang hanya dibaca sebatas dibaca judulnya, kemudian dishare
atau dikirim, yang lain menerima kiriman juga seperti itu) kalau boleh
dibandingkan antara membaca yang wajib : alqur’an, buku tugas kerja seperti
regulasi, sop, dengan membaca wa, faceebook, twiter dll. Lebih banyak mana?
2. Tazkiyah:
kesucian:
يَوْمَ لَا
يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ . إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
pada hari (kiamat) saat harta dan anak-anak tidak
bermanfaat. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat (Q.S asy-Syu'araa'
ayat 88-89).
Yang
mengotori hati ada 3 hal :
a.
Iri adalah menderita ketika
melihat orang bahagia, dan bahagia ketika melihat orang menderita.
Adapun dengki adalah sebuah
emosi yang dimiliki seseorang untuk menghilangkan kenikmatan seseorang yang
datang dari Allah SWT
Dari Abu Hurairah -semoga Allah
meridhainya- Rasulullah SAW bersabda:
لا تَحاسدُوا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ،
وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Jangan kalian saling mendengki,
jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! dan
hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Solusinya Sebagaimana Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
تَهَادَوْا
تَحَابُّوا
“Saling memberikan hadiah niscaya
kamu akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
b.
Nifaq: munafiq
Ciri-ciri sifatnya Allah Ta’ala berfirman,
c.
وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ
قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
“Dan bila mereka berjumpa dengan
orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila
mereka kembali kepada setan-setan (pemimpin) mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya
kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 14
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ
تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا
يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Jika kamu
memperoleh kebaikan, niscaya mereka (orang munafik) bersedih hati. Tetapi jika
kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan
bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan
kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS.
Ali ‘Imran [3]: 120)
c. Takabur:
sombong
الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan
adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim, no. 2749, dari
‘Abdullah bin Mas’ûd]
Dalam hadits qudsi yang diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: إِنَّ الْعِزَّ إِزَارِيْ وَالْكِبْرِيَاءَ رِدَائِيْ
فَمَنْ نَازِعُنِيْ فِيْهِمَا عَذَّبْتُهُ. (رواه الطبراني)
Sesunguhnya Allah
Ta’ala berfirman: “Kemuliaan adalah pakaian-Ku dan sombong adalah selendang-Ku.
Barangsiapa yang mengambilnya dariku, Aku Adzab dia. (HR. Muslim)
ثلاثة
لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: شيخ زان،
وملك كذاب، وعائل مستكبر.
Tiga golongan yang
Allah tidak akan berbicara dengannya kelak pada Hari Kiamat, tidak membersihkan
mereka, dan tidak melihat kepada mereka, serta bagi mereka adzab yang pedih :
seorang tua yang berzina, penguasa yang pendusta, orang miskin yang sombong.
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رض اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَا مِنْ
رَجُلٍ يَمُوْتُ حِيْنَ يَمُوْتُ وَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ
مِنْ كِبْرٍ تَحِلُّ لَهُ اْلجَنَّةُ اَنْ يَرِيْحَ رِيْحَهَا وَ لاَ يَرَاهَا.
احمد فى الترغيب و الترهيب 3: 566
Dari Uqbah bin
'Amir RA, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW, bersabda, "Orang yang
meninggal dunia, dan ketika ia meninggal itu di dalam hatinya masih ada sebesar
biji sawi dari sombong, maka tidaklah halal baginya surga, tidak mencium baunya
dan tidak pula melihatnya". [HR. Ahmad, dalam Targhib wat Tarhib juz 3,
hal. 566]
أَنَّ
رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ
« كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا
مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.
“Ada seorang
laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tangan kirinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak
bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena
sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” (H.R. Muslim no.
3766).
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ
رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ
حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ
الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk
surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”
Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju
dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Alloh itu indah dan
menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang
lain.“ (HR. Muslim)
عَنْ
فَضَالَةَ بْن عُبَيْدٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ يُسْأَلُ
عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ رِدَاءَهُ، فَاِنَّ رِدَاءَهُ اْلكِبْرُ، وَ
اِزَارَهُ اْلعِزُّ، وَ رَجُلٌ فِى شَكّ مِنْ اَمْرِ اللهِ، وَ اْلقُنُوْطُ مِنْ
رَحْمَتِهِ. الطبرانى فى الترغيب و الترهيب 3: 562
Dari Fadlalah bin
'Ubaid RA ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Ada tiga
golongan yang tidak perlu ditanya tentang mereka itu (dan langsung dimasukkan
neraka) yaitu : 1. Orang yang mencabut selendang Allah, sesungguhnya selendang
Allah itu adalah sombong dan pakaian-Nya adalah kebesaran, 2. Orang yang
ragu-ragu terhadap perintah Allah dan, 3. Orang yang putus asa dari rahmat
Allah". [HR. Thabarani, dalam Tarhib wat Targhib juz 3, hal. 562]
يُحْشَرُ
الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ
يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ
يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ
أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ
“Pada hari kiamat
orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di
dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka
akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api
neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah
penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)”. [Hadits Hasan.
Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad,
2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]
Kebalikan Sombong adalah Tawadhu :
وَإِنَّ
اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى
أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
‘Sesungguhnya
Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang
pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang
lain” (HR Muslim no. 2865).
عَنْ
عِيَاضِ بْنِ حَمَّادٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اللهَ اَوْحَى
اِلَيَّ اَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ اَحَدٌ عَلَى اَحَدٍ وَلاَ
يَبْغِيَ اَحَدٌ عَلَى اَحَدٍ. مسلم و ابو داود و ابن ماجه فى الترغيب و الترهيب
3: 557
Dari 'Iyadl bin
Hammad RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah
mewahyukan kepada saya agar supaya kamu sekalian bertawadlu', sehingga
seseorang tidak merasa sombong terhadap yang lain dan seseorang tidak pula
berbuat dhalim terhadap yang lain". [HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah,
dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 557]
3. Ta’lim
: mengambil ibroh/pandai mengambil pelajaran setiap kejadian
يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah
menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
Setiap
kejadian yang menimpa manusia tidak ada yang sia-sia, semua syarat dengan ilmu,
hikmah dan pelajaran yang sangat berharga
a. Apabila seorang terkena sakit ia
dapat mengambil hikmahnya
b. Fenomena kehadiran virus corona
manusia pembelajar akan dapat mengambil pelajaran
c. Siapapun yang yang Alloh luaskan
kekayaan atau terkena tadkdir hanya kecupuan dalam harta tetap ada hikmah yang
bisa ia terima.
d. Termasuk disajikan berbagai kisah
seperti Fir’aun dan Nabi Musa as, kisah nabi Ibrohim as dan namrud semua full
pelajaran hidup, agar lebih waspada
dalam menjalani episode kehidupn.
Chapter
4#
Sesungguhnya Robb kita yang Maha mulia telah memperbanyak
pintu-pintu kebaikan dan jalan-jalan untuk beramal sholeh sebagai bentuk
karunia, kasih sayang, kedermawanan, serta menjadi wasilah kebaikan bagi
hambanya, agar seorang muslim masuk ke pintu kebaikan dari mana saja dan
menempuh jalan ketaatan pilihannya, sehingga Allah memperbaiki kehidupan dunianya,
dan mengangkat derajatnya di akhirat. Allah SWT menegaskan tentang hal ini agar
hambanya terus menerus berbuat kebaikan dimanapun berada, sebagaimana Firman Alloh SWT:
فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja
kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Baqoroh : 148)
Allah berfirman tentang para Nabi –’alaihis salam yang merupakan
teladan bagi umat manusia
إِنَّهُمْ كَانُوا
يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا
خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami
dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu´ kepada Kami
(QS Al-Anbiyaa : 90)
Diantara pintu-pintu kebaikan dan jalan-jalan ketaatan serta sebab
terhapusnya dosa-dosa hamba adalah istighfar. Taubat adalah sunnahnya para nabi
dan rasul ‘alaihimus salam. Allah berfirman tentang dua nenek moyang manusia :
قَالَا رَبَّنَا
ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al-A’rof : 23)
Dan Allah berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam :
رَبِّ اغْفِرْ لِي
وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. (Qs
Nuuh : 28)
Diantara petunjuk dan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah banyak beristighfar meskipun Allah telah mengampuni bagi dosa beliau
yang telah lalu maupun yang akan datang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
! تُوْبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَاسْتَغْفِرُوْهُ، فَإِنِّي أَتُوْبُ إِلى اللهِ
وَأَسْتَغْفِرُهُ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia ! bertobatlah kalian kepada Tuhan kalian dan
mintalah ampun kepadaNya. Sesungguhnya aku sendiri bertobat kepada Allah dan
memohon ampunanNya setiap hari Seratus kali “. HR An-Nasai HR. Muslim no. 2702
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mencontohkan pada umatnya untuk memperbanyak istighfar. Karena manusia tidaklah
luput dari kesalahan
dan dosa, sehingga istighfar dan taubat mesti dijaga setiap saat.
Dari Al Aghorr Al Muzanni, yang merupakan sahabat Nabi, bahwa Nabi SAW bersabda,
إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِى وَإِنِّى لأَسْتَغْفِرُ
اللَّهَ فِى الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Ketika hatiku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari
sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702).
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan bahwa makna hadits di atas, yaitu ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan malas beliau membacanya seperti itu. Artinya, beliau rutin terus
mengamalkan dzikir istighfar setiap harinya. Lihat Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi, 17: 22.
Istighfar merupakan kebiasaan orang-orang shalih dan bertakwa, serta
merupakan syi’ar kaum mukminin. Allah berfirman tentang mereka :
الَّذِينَ يَقُولُونَ
رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(16) الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya
kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari
siksa neraka, (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap
taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di
waktu sahur (Qs Ali-‘Imron : 16-17)
Begitu banyak fadhilah keutamaan membiasakan istighfar:
Sebagaimana
hadist dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasul shallallahu’alaihiwasallam yang
menunjukkan bahwa memperbanyak istighfar merupakan salah satu kunci rizki,
suatu hadits yang berbunyi:
“مَنْ أَكْثَرَ مِنْ
الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ
ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”
“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan
jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya
dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka” (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas dan sanadnya
dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir).
Istighfar mampu mencegah hukuman Allah subhanahu wa ta’ala
sebagaimana dalam Firmannya :
فِيهِمْ وَمَا كَانَ
اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“dan tidak mungkin pula Allah menghukum mereka sementara
mereka sedang beristighfar “ (QS Al-Anfaal : 33)
فَقُلْتُ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ السَّمَاءَ
عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا * وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ
جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku katakan kepada mereka:
‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun, niscaya
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan memperbanyak
harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)
Hal ini juga sejalan dengan surat
Hud ayat 52
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا
رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku,
mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Lalu bertaubat lah kepada-Nya, niscaya Dia akan
menurunkan hujan yang deras untukmu. Dia akan menambahkan kekuatan di atas
kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa” (Hud: 52)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فَأَخْبَرَ سُبْحَانَهُ أَنَّهُ
لَا يُعـَذِّبُ مُسْتَغـْفِرًا؛ لِأَنَّ الِاسْتِغـْفَارَ يَمْحـُو الـذَّنْبَ
الَّـذِي هـُوَ سَبَبُ الْـعَذَابِ، فَيَنْدَفِـعُ الْـعَذَابُ
"Allah Ta'ala mengabarkan,
bahwa Allah Ta'ala tidak akan mengazab orang yang beristighfar (memohon ampun
dari dosa). Karena istighfar itu akan menghapus dosa yang dosa itu sendiri
merupakan penyebab datangnya adzab, sehingga adzab itupun sirna dengan cepat.
Orang yang banyak membaca kalimat
thayyibah ini, akan mendapatkan keberuntungan terutama di akhirat. Dalam sebuah
hadis, Rasulullah SAW bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِى
صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Beruntunglah orang yang di dalam
catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak.” (HR Ibnu Majah)
مَنْ أَحَبَّ أَنْ تَسُرَّهُ
صَحِيْفَتُهُ فَلْيُكْثِرْ فِيْهَا مِنَ الْاِسْتِغْفَارِ
“Barangsiapa yang ingin catatan
amalnya menyenangkannya, maka perbanyaklah istighfar.” (HR Baihaqi)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu
berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا ابنَ آدمَ إِنَّك
لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ
وَلَا أُبَالِي
“Wahai anak Adam, Andaikata dosa-dosamu telah mencapai setinggi
langit lalu maku meminta ampun kepadaKu, Akupun mengampunimu tanpa
mempedulikan” (HR Turmuzi. Dikatakannya sebagai hadis hasan).
Dan ini merupakan bentuk berbuat baik yang besar untuk kaum mukminin.
Wahai hamba-hamba Allah. Laksanakanlah perintah TuhanMu. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman dalam hadis Qudsi :
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ
تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ
“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian semua berbuat salah di
malam dan siang hari, sedangkan Aku mengampuni segala dosa, maka mohonlah ampun
kepadaKu, niscaya Aku mengampuni kalian semua “ (HR Muslim dari hadis Abi Zar).
Jangan dikira bahwa dengan ucapan yang sederhana saja, rezeki mudah
datang dan hujan mudah Allah turunkan. Ucapan yang sederhana tersebut adalah
ucapan istighfar. Dengan memohon ampun pada Allah dan tinggalkan maksiat,
niscaya pintu rezeki akan terbuka dan hujan pun akan diturunkan dengan deras.
Ayat inilah yang bisa diambil pelajaran,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ
غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ
بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
(12)
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan
untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan mengenai
ayat di atas, “Tinggalkanlah dosa, beristighfarlah pada Allah atas dosa yang
kalian perbuat. Sungguh Allah itu Maha Pengampun. Dosa yang begitu banyak akan
dimaafkan oleh Allah. Maka hendaklah mereka segera memohon ampun pada Allah
meraih pahala dan hilanglah musibah. Allah pun akan memberikan karunia yang
disegerakan di dunia dengan istighfar tersebut yaitu akan diturunkan hujan
dengan deras dari langit, juga akan dikarunia harta dan anak yang diharapkan.
Begitu pula akan diberi karunia kebun dan sungai di antara kelezatan dunia.” (Taisir Al Karimir
Rahman, hal. 889). Itulah faedah istighfar dan
meninggalkan dosa atau maksiat.
Terdapat sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah yang menunjukkan bagaimana faedah istighfar yang luar biasa.
أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ الْجَدْب فَقَالَ
اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ
اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ،
وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، ثُمَّ تَلَا
عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة
“Sesungguhnya seseorang pernah mengadukan kepada Al Hasan tentang
musim paceklik yang terjadi. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon
ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang
kemiskinannya. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah)
kepada Allah”.
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan
pada lahan (kebunnya). Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon
ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu
itu belum memiliki anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon
ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di
atas. (Riwayat ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Fathul
Bari, 11: 98)
Ketika menjelaskan surat Nuh di atas, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika kalian meminta ampun (beristigfar) kepada Allah
dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan mendapatkan banyak rizki, akan diberi
keberkahan hujan dari langit, juga kalian akan diberi keberkahan dari tanah
dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman, dilimpahkannya air susu,
dilapangkannyaharta, serta dikaruniakan anak dan keturunan. Di samping itu,
Allah juga akan memberikan pada kalian kebun-kebun dengan berbagai buah yang di
tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 7: 388)
Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, “Maksud ayat
niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, yaitu Allah akan
menurunkan hujan dengan ucapan istighfar tersebut. Oleh karenanya, dianjurkan
ketika shalat istisqa’ (shalat minta hujan) untuk membaca surat Nuh ini.” (Idem, 7: 387)
Cahpter 5#
PILAR
IBADAH
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa
(etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan menurut syara’ (terminologi),
ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu
antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat
kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah
merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang di-cintai dan diridhai Allah Azza wa
Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
Inilah definisi yang paling lengkap.
B. Pembagian
Ibadah
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan
dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta),
tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah
(lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah
badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan
penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ
رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki
rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi
makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Didalam Shahih Tafsir
Ibnu Katsir: Menjelaskan bahwa Ibadah
yang ikhlas akan terwujud dengan sempurna apabila ditopang oleh pilar-pilar
atau pondasi ibadah :
1. Pilar ibadah
yang pertama adalah Cinta (Mahabbah)
Bagi seorang hamba, cinta adalah pilar
ibadah yang paling penting, karena cinta adalah pokok dari ibadah. Oleh karena
itu, kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah
kecintaan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (QS. Al
Baqarah : 165)
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ
ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ
165. Dan diantara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah SWT.
Kemudian cinta kita kepada Allah Ta’ala
sebagai pilar ibadah haruslah kita buktikan. Adapun cara membuktikannya ?
Salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala adalah dengan
meneladani ibadah Rasulullah SAW, dan juga meneladani beliau dalam
setiap perkara, sebagaimana dalam firman-Nya (QS. Ali Imran: 31)
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ
فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ
غَفُورٞ رَّحِيمٞ
31. Katakanlah: "Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
2. Pilar ibadah yang kedua adalah Harap
(Raja’)
Rasa harap yang dimaksud antara lain
adalah harapan akan diterimanya amal kita, harapan kita agar dimasukkan ke
dalam surga, harapan untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala, harapan agar
dosa-dosa kita diampuni, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan
kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Allah Ta’ala
berfirman (QS. Al Baqarah : 218)
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ
هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ
ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢١٨
218. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang
Rasa harap ini (yakni yang bernilai
ibadah) mengandung dua unsur, yaitu adanya perendahan diri (serendah-rendahnya)
dan ketundukan (sepasrah-pasrahnya) kepada objek yang diharapkan yaitu Allah SWT.
قُلْ يَا
عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ
الرَّحِيمُ
Terjemah:”Katakanlah: “Hai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS. Az Zumar:
53
3. Pilar ibadah
ketiga yang harus kita miliki adalah rasa takut (khauf).
Dengan adanya rasa takut, seorang hamba
akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah hanya kepada Allah SWT
sehingga terhindar dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang
juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat dosa dan maksiat. Allah Ta’ala
berfirman
(QS. Al Anbiya : 49)
ٱلَّذِينَ
يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ وَهُم مِّنَ ٱلسَّاعَةِ مُشۡفِقُونَ ٤٩
49. (yaitu) orang-orang
yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan
mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang merupakan manusia paling bertaqwa, manusia yang paling tinggi
tingkatannya, pun berdo’a kepada Allah dengan do’a
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta
kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka” (HR. Abu Dawud)
Dan juga hadits dari Sahabat Anas berkata,
“Doa yang paling banyak dipanjatkan Nabi SAW adalah: (dari Q.S: Al-Baqarah:
201).”
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (HR Bukhari).
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ الْجَنَّةُ
اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ:
،
وَمَنْ اسْتَجَارَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ
أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ
Siapa yang meminta surga 3 kali, maka
surga akan berkata: 'Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga.' Dan siapa yang
memohon perlindungan dari neraka 3 kali, maka neraka akan berkata: 'Ya Allah,
lindungilah dia dari neraka.
Maka yang benar adalah rasa harap akan
surga dan takut akan neraka tidaklah mengurangi keikhlasan seseorang, bahkan
hal itu yang merupakan perkara yang di tuntunkan oleh syari’at dan di cintai
oleh Allah Ta’ala dan menjadi penyempurna dalam setiap ibadah dan do’a kita.
Chapter
6#
6 NASIHAT IMAM AL GHOZALI
Asy-Sech Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali seorang
tokoh besar dalam sejarah Islam, beliau adalah pengarang kitab Ihya’ulumuddin.
Suatu hari beliau mengajukan enam pertanyaan pada murid-muridnya
Pertama,"Apa
yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua,
guru, teman,dan kerabatnya.
Imam
Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. tetapi yang paling dekat dengan
kita adalah "mati". Sebab itu sudah janji Allah Swt bahwa setiap yang
bernyawa pasti akan mati.
Firman
Allah Swt, كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati.” (Qs. Ali Imran 185)
Pertanyaan
kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"..
Murid-muridnya ada yang menjawab bulan,
matahari, dan bintang-bintang.
Lalu
Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar.
Tapi yang paling benar adalah masa lalu.
Bagaimanapun
kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh
sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan
perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Ada satu Hadis yang dapat kita jadikan
motivasi untuk menjadi lebih baik ke depan, termasuk urusan dunia, agama dan
kehidupan. Meski derajatnya dhaif (lemah), Hadis ini dapat kita jadikan
motivasi untuk beramal.
مَنۡ كَانَ يَوۡمُهُ خَيۡرًا مِنۡ اَمۡسِهِ فَهُوَ
رَابِحُ. وَمَنۡ كَانَ يَوۡمُهُ مثل اَمۡسه فهو مَغۡبُون. ومَن كان يومه شَرًّا مِنۡ
امسه فهو مَلۡعُون
"Barangsiapa
yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang
beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang
yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin
maka dia terlaknat."
Pertanyaan yang ke tiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?".
Murid-muridnya
ada yang menjawab gunung, bumi, lautan dan matahari. Semua jawaban itu benar
kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah
"nafsu"
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ
وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ
بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
"Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai." (QS. Al A'Raf 179).
Maka
kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke
neraka.
Pertanyaan
ke empat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?"
Ada
yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban itu benar, kata Imam
Ghazali. Tapi yang paling berat adalah "memegang Amanah
إِنَّا
عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا
جَهُولًا
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab 72).
Ayat ini dimaknai
berbeda oleh para ulama Mufassirin. Diantaranya adalah Imam Al-Aufi dari Ibnu
Abbas –radhiyallahu ‘anhu- mereka berkata:
“Yang dimaksud dengan
al-amanah adalah, ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawarkan
kepada Adam ‘alaihissalam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah
berfirman kepada Adam, ‘
‘Sesungguhnya Aku
memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, akan tetapi
mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya?’ Adam
menjawab, ‘Ya Rabbku, apa isinya?’
Maka Allah berfirman,
‘Jika engkau berbuat baik maka engkau akan diberi balasan, dan jika engkau
berbuat buruk maka engkau akan diberi siksa’. Lalu Adam menerimanya dan
menanggungnya. Itulah maksud firman Allah, ‘Sesungguhnya manusia itu amat zalim
dan amat bodoh’.”
Kemudian, menurut Ali
bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas ra. Ia menyampaikan:
“Amanah adalah
kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika
mereka menyia-nyiakannya, maka Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan
menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, tetapi karena ta’zhim
(menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya.”
Kemudian Allah Ta’ala
menyerahkannya kepada Adam, maka Adam menerimanya dengan segala konsekwensinya.
Itulah maksud dari firman Allah: “Dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” yaitu pelanggar perintah
Allah”
Sehingga dapat
dikatakan bahwa manusia hidup di dunia ini hanya menjalani ujiannya saja. Lulus
atau tidak dalam menjalankan ujian tersebut akan dijawab oleh Allah SWT setelah
hari kiamat tiba nanti.
Pertanyaan
yang ke lima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?". Ada yang
menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam
Ghazali. Tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan shalat.
Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan
shalat.
Pertanyaan
ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam Ghazali.
Tapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah,
Manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya
sendiri.
Demikianlah para pembaca ulasan tentang enam
pertanyaan sekaligus nasehat imam al-Ghazali terhadap murid-muridnya. Mudahan
kita bisa mengambil pembelajaran dari nasehat tersebut. Aamii
Chapter
7#
MENJAGA HAK ALLOH
Didalam
hadist Nabi Muhammad SAW bersabda :
عبْد
الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ - عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ:
((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ
اللهَ يَحْفَظْكَ،
احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ
عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ
اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ
إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ
الصُّحُفُ))
Di dalam
hadis ini Rasulllah SAW mewasiatkan beberapa untai kalimat kepada Ibnu ‘Abbas,
؛
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَJagalah
Allah, niscaya Dia akan menjagamu’.
Menurut para ulama, menjaga Allah artinya menjaga
batasan-batasan-Nya, hak-hak, perintah-perintah, serta larangan-larangan-Nya.
Pemilik kriteria inilah yang disanjung oleh Allah Ta’ala dalam
firmanNya.
هَذَا
مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ
“(Kepada mereka dikatakan),
“Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa
bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” (QS.
Qaf: 32)
a. Di antara hak-hak Allah yang paling
agung yang wajib dijaga oleh seorang hamba adalah memurnikan segala bentuk
ibadah hanya kepada-Nya.
b. Juga termasuk upaya menjaga hak
Allah adalah menjaga shalat agar senantiasa tepat pada waktunya.
c. Menjaga hak Allah adalah menjaga
lisan dari segala bentuk kedustaan, perkataan kotor, adu domba, menggunjing,
dan menjaga kemaluan serta menundukkan pandangan.
Menurut Ibnu
Rajab, penjagaan Allah itu mengandung dua unsur:
1. Allah akan menjaga hamba-Nya yang saleh dengan memenuhi
kebutuhan dunianya, (seperti terjaga badan, anak, keluarga, pekerjaan dan
hartanya).
2. Allah akan menjaga agama dan imannya, inilah penjagaan
yang paling agung dan mulia.
Seorang hamba tersebut akan terjaga dari perkara syubhat yang
menyesatkan dan dari syahwat yang diharamkan.
Mari kita renungkan
dan kita tanyakan pada diri sendiri :
Apakah Alloh selalu menjaga setiap urusan
kita, pekerjaan, anak, istri dan keluarga atau sebaliknya Alloh SWT membiarkan
kita dalam maksiat, terus berlumuran dosa tanpa menyesali.
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ jagalah Alloh, niscaya Alloh akan menjagamu
Al qur’an Surat Asy-Syuro :30 Alloh
berfirman
وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu
Maasyiral
muslimin Jamaah jum’ah rahimakumullah,
Kedua, احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ “Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu“
Maksudnya jika engkau menjaga Allah
maka Alloh senantiasa di depanmu untuk membimbingmu menuju jalan-jalan
kebaikan, serta mencegahmu dari segala keburukan.
Adapun
Untaian Kalimat Ke3 dan ke 4, إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ
“Jika engkau berdo’a, mintalah kepada Allah.”
وَإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Jika engkau hendak memohon
pertolongan, mohonlah kepada Allah.”
Artinya, jika engkau hendak
menginginkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah, jangan meminta kepada
selainya. Dia-lah yang mampu mengabulkan segala permintaan hamba-Nya.
Di samping itu, meminta dan berdoa
kepada Allah adalah ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Allah berfirman,
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman,
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu.” (QS.Al Mu’minun:
60)
Pantas lah jika kita diperintahkan
untuk meminta pertolongan kepada Allah, sebab Dia-lah yang memiliki kerajaan
langit dan bumi. Itulah sebabnya kita diwajibkan untuk berdo’a dalam setiap
shalat kita,
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah
dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. 1: 4)
Kelima, وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ
يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ
“Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu
suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang
telah Allah tetapkan untukmu”
Rasulullah mengawali untaian ini
dengan perkataan, “Ketahuilah”. Ini menunjukkan untaian kalimat ini
merupakan kalimat yang penting untuk dipahami.
Makna hadis ini, seandainya seluruh
manusia atau bahkan seluruh makhluk bersatu untuk memberikan keuntungan
kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu dapatkan, kecuali jika Allah telah
menakdirkannya di lauh mahfudz.
Dengan untaian nasihat ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita
bagaimana seharusnya kita beriman kepada takdir. Pada hakikatnya seluruh
manusia tidak bisa memberikan manfaat kepada sesamanya, kecuali dengan takdir
Allah.
Keenam, وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
“Dan
andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal
itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk
dirimu.”
Ini juga menunjukan bahwa seluruh
mara bahaya pada hakikatnya datang dari Allah, terjadi dengan takdir dan
kehendak-Nya. Jika demikian halnya maka sudah semestinya kita memohon
perlindungan hanya kepada Allah, bukan kepada selainNya. Sebab pada hakikatnya
hanya Dia yang mampu mencegah dan mendatangkan mara bahaya.
Untaian
Kalimat Ketujuh, رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena
telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Yang dimaksud dengan “pena” di sini
adalah pena yang menulis seluruh takdir manusia. Sedangkan maksud dari
“lembaran-lembaran” adalah lembaran yang digunakan untuk mencatat takdir.
Ini artinya seluruh perkara dan
kejadian sudah ditetapkan. Apapun yang ditetapkan untuk kita, baik-buruknya
pasti akan terjadi. Tidak ada gunanya berkeluh kesah terhadap apa yang menimpa
kita. Sebab itu semua datang dari Allah Ta’ala.
Dari hadist ini Ada korelasi yang
positif : antara Penjagaan kita kepada hak-hak Alloh SWT akan berbanding lurus
dengan penjagaan Alloh SWT kepada kita.
Chapter 8#
A.
Perintah Istiqomah
Istiqomah bukan perkara sepele
namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Para ulama mendefinisikan istiqomah
dengan berjalan di atas ajaran yang lurus dan benar tanpa menyimpang, hal ini
mencakup pelaksanaan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang
Allah.
Imam ibnu Hajar pernah
menjelaskan pengertian Istiqomah dengan menyatakan bahwa “Istiqomah adalah
ungkapan dari komitmen kepada perintah Allah baik berupa pelaksanaan ataupun
peninggalan.” (fathul Baari 13/257)
Istiqomah
merupakan perkara yang sangat penting dan sudah menjadi keharusan kita untuk
memberikan perhatian yang besar, sebab Istiqomah menjadi sebab kebahagian dunia
dan akherat serta keselamatan dari siksaan Allah Ta’ala.
Sesunguhnya nikmat Allâh Ta’ala
kepada hamba-hamba-Nya tidak terbatas. Di antara nikmat yang paling besar
adalah nikmat iman dan islam. Demikian juga nikmat istiqomah di atas iman. Hal
ini ditunjukkan oleh hadits di bawah ini:
عَنْ
سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ
قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdullâh
ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di
dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun
setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqomahlah”.
[HR Muslim, no. 38; Ahmad 3/413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972].
فَاسْتَقِمْ
كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Maka istiqomahlah (tetaplah kamu
pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. [Hûd/11:112].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali
berkata: Pokok istiqomah adalah istiqomah hati di atas tauhid, sebagaimana
penjelasan Abu Bakar ash-Shiddîq dan lainnya terhadap firman Allâh:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah (meneguhkan
pendirian mereka”. [al-Ahqâf/46:13].
Ketika hati telah istiqomah di
atas ma’rifah (pengetahuan) terhadap Allâh, khasyah (takut) kepada Allâh,
mengagungkan Allâh, menghormati-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, berharap
kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, dan berpaling dari
selain-Nya; maka semua anggota badan juga istiqomah di atas ketaatan
kepada-Nya. Karena hati merupaka raja semua anggota badan, dan semua anggota
badan merupakan tentara hati. Maka jika raja istiqomah, tentara dan rakyatnya
juga istiqomah.
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allâh -Rûm/30 ayat 30- ditafsirkan dengan memurnikan niat
dan kehendak bagi Allâh semata, tanpa sekutu bagi-Nya.
Di dalam Musnad Imam Ahmad dari
Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
لَا
يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ
قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا
يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan
istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan
istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman
dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. [HR Ahmad, no. 12636,
dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13].
Disebutkan dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id
al-Khudri secara marfuu’ dan mauqûf:
إِذَا
أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ
فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ
اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari
sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: “Takwalah
kepada Allâh di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung
kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah, jika engkau
menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. [HR Tirmidzi, no. 2407;
dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin 3/17, no.
1521].[2]
B.
Keutamaan Istiqomah:
Seorang hamba akan mendapatkan
semangat di dalam istiqomah dengan mengetahui keutamaannya. Allâh Ta’ala
berfirman memberitakan keutamaan besar yang akan diraih oleh orang-orang yang
istiqomah:
Firman
Allah SWT:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (30) نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ
فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):”Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu
dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah
Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang
kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Fushilaat: 30-32)
Imam ibnu al-Qayyim menjelaskan
pentingnya Istiqomah ini dengan menyatakan: “Istiqomah pada keadaan seseorang
seperti kedudukan ruh dari badan; sebagaimana badan apabila tidak ada ruhnya
maka jadi mayit, demikian juga satu keadaan tanpa adanya istiqomah maka akan
rusak. Keistiqomahan adalah sebab baiknya keadaan, juga menjadi sebab bertambah
dan cemerlangnya amalan orang-orang zuhud. Tidak akan cemerlang dan sempurna
satu amalan tanpa istiqomah.” (Madarij as-Saalikin 2/109)
Beliau juga menyatakan: “Kekokohan langkah
seorang hamba di ash-Shiraat (jembatan) yang dipasang di atas neraka adalah sesuai dengan
kokohnya langkah hamba di jalan yang lurus yang Allah tetapkan di dunia ini,
demikian juga ukuran berjalannya di atas jembatan ash-Shiraat sesuai dengan ukuran jalannya hamba tersebut di jalan yang lurus di
dunia ini.
Hendaknya seorang hamba melihat kepada
syubhat dan syahwat yang menghalanginya berjalan di atas jalan yang lurus
(agama islam yang benar), karena dia sama seperti kaitan-kaitan yang ada di
sisi-sisi jembatan shirat yang akan mengait dan menghalanginya untuk melewati jembatan
tersebut. Semakin banyak dan kuat syahwat dan syuhbat ini pada hamba maka
semakin banyak dan kuat juga di sana. (lihat Tafsir al-Qayyim hlm 109).
Di dalam ayat yang lain Allâh Ta’ala berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿١٣﴾ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Rabb kami ialah Allâh”, kemudian mereka tetap istiqomah (teguh
pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang shalih) maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka
itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas
apa yang telah mereka kerjakan. (al-Ahqâf /46:13-14).
Manusia pasti memiliki
kekurangan. Manusia tidak akan mampu melaksanakan agama ini secara menyeluruh
dengan sempurna. Oleh karena itulah Allâh Ta’ala memerintahkan istighfar
setelah memerintahkan istiqomah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ ۗ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Bahwasanya aku
hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan
kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka istiqomahlah (tetaplah pada jalan yang
lurus) menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. dan kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya. [Fush-shilat/41:6].
Iman Ibnu Rajab berkata: “Di
dalam firman Allâh ‘maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan
mohonlah ampun kepada-Nya’, merupakan isyarat bahwa pasti terjadi kekuarangan
di dalam (menjalankan) istiqomah yang diperintahkan, maka diperbaiki dengan
istighfar yang mengharuskan taubat dan ruju’ menuju istiqomah”
C.
Sebab-Sebab Istiqomah
Sesungguhnya sebab-sebab
istiqomah sangat banyak. Diantara sebab-sebab terpenting yang menjadikan
seseorang istiqomah di jalan Allâh Ta’ala ialah sebagai berikut:
1.
Merenungkan al-Qur`ân.
2.
Mengamalkan agama Allâh.
3. Doa.
4.
Dzikir.
5.
Pembinaan iman.
6.
Meneladani Salafush-Shâlih dan ulama yang istiqomah.
7.
Mencintai Allâh dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya.
8.
Mencintai dan membenci sesuatu karena Allâh.
9. Saling
berwasiat dengan al-haq, kesabaran, dan kasih-sayang.
10.
Meyakini masa depan bagi agama Islam.
D.
Kiat-kiat Mewujudkan Sikap Istiqomah
Asyru Qowa’id fil Istiqamah yang ditulis oleh Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah.
Dalam buku tersebut, sang penulis hafizhahullah memaparkan dengan indah,
singkat, dan jelas tentang pengertian istiqamah, dan kiat-kiat agar seseorang
mampu untuk istiqamah di dalam hidupnya. Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah
yang kini telah meraih gelar profesor doktor tersebut, menyebutkan sepuluh
bab tentang istiqamah. Kendati buku ini tergolong buku yang tipis (kutaib),
namun dengan taufik Allah sang penulis berhasil menjelaskan masalah istiqamah
dengan baik melalui 10 bab tersebut, yaitu:
1. Istiqamah
adalah anugerah dari Allah Ta’ala.
2. Hakikat
istiqamah adalah meniti jalan yang lurus (Islam).
3. Dasar
istiqamah adalah keistiqamahan hati.
4. Istiqamah
yang tertuntut adalah sesuai Sunnah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya.
5. Istiqamah
terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat.
6. Istiqamah
tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah, dan dengan pertolongan
Allah, serta sesuai dengan perintah Allah.
7. Seorang
hamba, meski bagaimanapun ketinggian tingkat istiqamahnya, maka ia tidak boleh
bersandar kepada amalnya.
8. Buah
istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shiroth) pada
hari kiamat.
9. Penghalang
istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan.
10. Tasyabbuh
(meniru) orang kafir termasuk penghalang istiqamah terbesar.
Chapter
9#
PANDANGAN
ISLAM MENGENAI “CIRCLE”
A. Pengertian Circle
Belakangan ini dimedia sosial cukup ramai
pembahasan mengenai “sirkel”. Sebelum jauh pembahasan ini perlu kita ketahui
terlebih dahulu pengertian circle.
Sirkel berasal dari kata dalam Bahasa
Inggris circle yang
secara bahasa artinya lingkaran. Lingkaran yang dimaksud dalam konteks ini
adalah lingkaran atau kelompok pertemanan atau pergaulan yang sering juga
disebut komunitas.
B. Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Kita
Setelah kita ketahui makna sirkel,
berikutnya kita cari tahu apa pengaruhnya sirkel pertemanan terhadap kehidupan
kita?
Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ
صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ
يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang
yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan
berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi
tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal
engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak
mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya
yang tidak enak.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas menyebutkan bahwa teman
yang baik (shalih) maupun teman teman yang jelek keduanya sama-sama memiliki
pengaruh terhadap kehidupan kita.
Setiap orang sedikit banyak dipengaruhi
oleh sirkel pertemanannya karena seringnya berkumpul atau aktivitas bersama.
Sirkel pertemanan baik pada lingkungan kerja, pendidikan, komunitas, dan
sebagainya, dapat berdampak pada individu baik dari cara pandang, selera,
perubahan tingkah laku, dan gaya hidup (Pratiwi, 2020).
Hal tersebut selaras dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang
akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa
yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu
Daud, Tirmidzi, dan Ahmad. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih)
C. Memilih
Sirkel yang Lebih Baik
Islam melalui ajarannya baik dalam
Al-Quran ataupun Hadis telah membimbing umat manusia untuk berhati-hati dalam
memilih teman. Hal tersebut bukan berarti harus menutup diri dan tidak
memperbanyak perkenalan, akan tetapi kita tetap harus hati-hati untuk
menentukan teman terdekat atau yang sering disebut dengan ‘circle pertama’.
Memiliki sahabat orang-orang shalih
merupakan suatu kenikmatan dan karunia dari Allah yang sangat besar. Dalam
Kitab Qutul Qulub Fii Muamalatil Mahbub, Khalifah Umar bin Khattab berkata, “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang
lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila
engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka peganglah erat-erat.
Al-Quran menggambarkan sebuah keadaan
seseorang yang menyesal karena tidak mengikuti jalan rasul sebab salah dalam
memilih teman. Gambaran tersebut diabadikan dalam surah Al-Furqan (25): 27
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيْهِ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِى
اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُوْلِ سَبِيْلًا
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika)
orang-orang zalim menggigit dua jarinya (menyesali perbuatannya) seraya
berkata: Wahai sekiranya (dulu) aku
mengambil jalan bersama Rasul.”
Al-Furqan [25]: 28
يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا
“Celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku)”
Disebutkan dalam Tafsir Al-Azhar jilid 7, 5026, latar
belakang turunnya ayat di atas adalah seorang pemuka Quraisy bernama Uqbah bin
Abu Mu’aith. Sebelum memeluk Islam, Uqbah memiliki hubungan sangat baik dengan
Rasulullah saw. Uqbah sering bertukar pikiran dan bergaul dengan Nabi,
sehingga ia mengucapkan syahadat.
Setelah kejadian tersebut, ia bertemu
dengan teman lamanya yang sangat membenci Rasulullah saw. yaitu Ubayyu bin Khalaf.
Temannya tersebut menghasut Uqbah, ia mencela kelemahannya karena meninggalkan
kepercayaan nenek moyang yang pada akhirnya Uqbah berbuat kesalahan dengan
mencaci maki dan meludahi muka Rasulullah saw.
Meskipun temannya sangat memuji perbuatan
dirinya, namun dalam hati Uqbah menyesal ‘mengapa
saya tidak menuruti ajaran Rasul?’ ‘mengapa saya menjadikan si Ubayyu teman?’ akan tetapi kelemahannya menyebabkan kehancuran jiwanya sehingga
Uqbah tidak lagi menempuh jalan kebenaran bersama Rasulullah saw sampai akhir
hayatnya. Demikian salah satu contoh orang yang zalim yang pada akhirnya di
akhirat nanti hanya gigit jari karena menyesal.
Ada beberapa cara untuk memasukkan
orang-orang yang baik/shaleh ke dalam sirkel pertemanan kita, salah satunya
adalah dengan datang ke majelis ilmu.
Majelis ilmu merupakan tempat berkumpulnya
orang-orang yang insya Allah memiliki tujuan yang sama, yakni: mencari ilmu,
dan berusaha untuk memperbaiki diri.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ
قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika kamu melewati
taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,
”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, ”Halaqah-halaqah
(kelompok-kelompok) dzikir.” (HR. Tirmidzi)
Dengan datang dan bergabung ke dalam
majelis ilmu minimalnya kita dapat bertemu dan berteman dengan orang baik, yang
dapat mengingatkan kita tatkala kita berbuat salah—bukan yang membenarkan
setiap kesalahan kita agar kelak kita bisa menjadi seseorang yang lebih baik
lagi. Terlebih di zaman di mana orang-orang sudah mulai banyak yang tidak
peduli dengan batas halal dan haram dalam muamalah sehari-hari.
Selain itu, kita juga dapat mengajak
teman-teman yang lain untuk bergabung ke dalam majelis ilmu yang kita ikuti
agar semakin banyak orang-orang baik yang berada di sirkel pertemanan kita.
Teringat sebuah pepatah dalam bahasa arab,
الصَّاحِبُ سَاحِبٌ
“Yang namanya sahabat bisa menarik
(memengaruhi).”
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
المرء
على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Agama
Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah
yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no.
927)
Begitu
pentingnya seorang teman, ia bahkan menjadi sebuah identitas bagi seseorang.
Syeikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim menyampaikan
hal ini dalam sebuah syair,
عَنِ الْمَرْءِ
لَا تَسْأَلْ وَسَلْ قَرِيْنَهُ # فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمَقارِنِ يَقْتَدِي
“Tak perlu kau tanya tentang seseorang
(siapa dia), cukup tanya siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang
yang dia temani.”
Menjadi kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya.
Termasuk dalam hal ini memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang
sudah mendapat pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh
pergaulan yang buruk dari teman-temannya.
Hendaknya orangtua memperhatikan
lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang tua adalah pemimpin
bagikeluarganya, dan setiap pemimpin kan dimintai pertanggungjawaban terhadap
apa yang dipimpinnya.
Allah Ta’ala juga berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ
مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita dari pengaruh
teman-teman yang buruk dan mengumpulkan kita bersama teman-teman yang baik
Namun demikian, akan lebih bagus
lagi ketika kita bisa berteman dengan siapa saja, jika berteman dengan orang
yang baik, itu adalah anugerah yang harus kita syukuri, namun jika berteman
dengan orang yang tidak baik, maka kita lah yang harus berusaha membawa
kemanfaatan padanya dengan mengajaknya menjadi baik.
Semoga kita bisa menjadi teman
yang baik untuk orang lain dan memiliki teman yang baik untuk diri kita
sendiri, sehingga kita semua termasuk orang yang benar-benar beriman dan
berjalan di barisan bersama Rasulullah saw. pada hari ketika tidak ada teman.
Ya Allah, jauhkan kami untuk menjadi seseorang yang zalim, yang hanya bisa
gigit jari pada hari akhir karena penyesalan pertemanan yang tiada berarti. Wallahu
a’lam.
Chapter 10#
PENTINGNYA SABAR
A.
Kepastian Ujian Hidup
Firman Allah SWT:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ
وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ
ٱلصَّٰبِرِينَ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
dengan suatu ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang
yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: “Sesungguhnya kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.” (Q.S. Al-Baqarah 155-156).
B. Perintah Sabar
Sebagai orang yang beriman kepada-Nya,
kita pun diperintahkan untuk senantiasa bersabar selama menjalani ujian-ujian
tersebut karena dengan kesabaran dan tawakal seluruh ujian atau cobaan dan
musibah tersebut bisa dilalui dengan baik, membawa kebaikan, dan keberkahan.
Pada dasarnya Allah telah memberi ujian dan cobaan di setiap hambanya sesuai
porsinya masing-masing.
Bersabar merupakan perintah Alloh SWT
kepada hambaNya, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
ياَأيهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا
وَصَابِرُوْا وَ رَابِطُوْا وَاتَّقُوا اللّٰهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ۠ (۲۰۰)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung”. (QS. Ali Imran /3: 200)
Al-hasan
al-bashri rahimahullah
berkata “ mereka diperintahkan agar bersabar diatas agama mereka yang telah
Allah meridhoi untuk mereka, yaitu agama Islam. Jangan sampai
mereka meninggalkannya dengan sebab senang atau susah, Sejahtera,
sehingga mereka bisa mati dalam keadaan sebagai orang-orang Islam. dan
dan agar mereka menambah kesabaran menghadapi musuh-musuh yang menyembunyikan
agama mereka. tafsir Ibnu Katsir, Surat Ali Imran
وَٱسْتَعِينُوا۟
بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى
ٱلْخَٰشِعِينَ
"Jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu'." Surat Al Baqoroh : 45
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ
مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Surat Al-Baqarah Ayat
153
وَلَنَبْلُوَنَّكُم
بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ
وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar." Surat Al-Baqarah Ayat 155
وَأَطِيعُوا۟
ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ
وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Surat Al-Anfal Ayat
46
Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan
bahwa sabar adalah separuh dari keimanan. Rasulullah ﷺ mengatakan, dari
Anas bin Malik,
الْإِيمَانُ
نِصْفَانِ نِصْفٌ فِي الصَّبْرِ، وَنِصْفٌ فِي الشُّكْرِ
“Iman itu ada dua, separuhnya ada pada sabar,
dan separuhnya ada pada syukur
Allah SWT telah menjanjikan beragam hal
bagi mereka yang mampu sabar dalam menghadapi kesulitan hidup.
C . Tingkatan
Sabar
Ada tiga tingkatan sabar yang dianjurkan
oleh Nabi Muhammad ﷺ. Seperti dalam kitab as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi, Syekh
Ibnu Abid Dunya mencantumkan sebuah hadis riwayat Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّبْرُ ثَلَاثٌ: فَصَبْرٌ عَلَى
الْمُصِيبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، فَمَنْ
صَبَرَ عَلَى الْمُصِيبَةِ حَتَّى يَرُدَّهَا بِحُسْنِ عَزَائِهَا كَتَبَ اللَّهُ
لَهُ ثَلَاثَمِائَةِ دَرَجَةٍ بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ
السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ، وَمَنْ صَبَرَ عَلَى الطَّاعَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ
سِتَّمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ
تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ، وَمِنْ صَبَرَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ
كَتَبَ اللَّهُ لَهُ تِسْعَمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ
كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ مَرَّتَيْنِ
“Sabar ada tiga tingkatan; sabar atas musibah,
sabar dalam menjalani ketaatan, dan sabar dari laku kemaksiatan. Siapa saja
yang sabar menghadapi musibah, sampai ia mampu merestorasinya sebaik mungkin,
Allah akan mengangkat 300 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak
sejauh antara langit dan bumi.
Dan, yang bersabar dalam menjalani
ketaatan, Allah mengangkat 600 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya
berjarak sejauh antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy.
Sedangkan, bagi yang bersabar dari laku
kemaksiatan, Allah mengangkat 900 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya
berjarak sekitar dua kali lipat antara lapisan-lapisan bumi dan batas
(ketinggian) ‘arsy.”
1.
Sabar
menghadapi musibah.
Seperti yang telah diketahui, sebagai umat
muslim, takdir Allah ada dua macam, yaitu takdir yang menyenangkan dan yang
tidak menyenangkan (musibah). Bagi siapa pun yang mendapat takdir baik, maka
hendaklah bersyukur. Tapi bagi yang sedang menghadapi musibah, maka hendaklah
bersabar.
Allah Subhanahu
Wata’ala telah memberikan bahwa dia pasti akan
menguji para hambanya dengan berbagai musibah, maka kewajiban hamba adalah
bersabar menghadapinya.
Allah Subhanahu
Wata’ala juga memberi memberitakan bahwa diantara
sifat orang-orang yang bertakwa adalah :
وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ
وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُولئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُولئِكَ هُمُ
ٱلْمُتَّقُونَ
Artinya: Dan
orang-orang yang bersabar dalam kesempitan penderitaan dan dalam peperangan.
mereka itulah orang-orang yang benar imannya; dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa. (QS.al- Baqarah:177)
Rasulullah
shallallahu alaihi wassallam bersabda:
لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنيا إلَّا بلاءٌ وفتنةٌ
“Tak ada yang tersisa dari dunia ini kecuali cobaan
dan ujian”. ( Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah No. 3276 )
Ibnu Rajab rahimahullah :
اِنْتِظَارُ
الْفَرَجِ بِالصَّبْرِ عِبَادَةً
؛ فَإِنَّ الْبَلَاءَ لَا يَدُومُ
“Sabar menunggu jalan keluar adalah ibadah, karena
musibah itu tidak akan kekal.”
(Majmuu Rasaail Ibnu Rajab, 3/155)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
وَأَفْضَلُ الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ
"Sebaik
baik Ibadah adalah menunggu jalan keluar (solusi) (riwayat At-Tirmidzi).
Dalam hadis lain disebutkan :
وَاعْلَمْ أنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ
الفَرَجَ مَعَ الكَربِ، وَأَنَّ مَعَ العُسرِ يُسراً
"Dan ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama
kesabaran. Jalan keluar itu bersama penderitaan. Dan kesulitan itu disertai
kemudahan”. (Riwayat At-Tirmidzi)
Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam telah memberi memberitakan tentang
keadaan orang mukmin yang mengherankan, yaitu karena semua urusannya baik
baginya. Sebagaimana dalam sabdanya:
عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا
للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له
Artinya: “Sungguh
menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu
baik. Ini meskipun didapati pada seorang mukmin. Jika mendapatkan
kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik-baik saja. Jika mendapatkan
kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik-baik saja. (HR. Muslim, no. 2999)
Nasihat bersabar dari Rasul saat
menghadapi musibah dapat dipelajari dari hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik. Beliau berkata:
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » .
قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ
تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ
بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ
فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ
الأُولَى »
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang
wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda, (Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah). Kemudian wanita itu
berkata, (Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan
musibahku dan belum mengetahuinya). Kemudian ada yang mengatakan pada wanita
itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada
rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita ini berkata, (Aku
belum mengenalmu). Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
(Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah).” (HR. Bukhari)
Abdul Malik bin Abjar rahimahullah berkata dalam kitab Shifat
Ash-Shafwah sebgai beikut :
مَا مِنَ النَّاسِ إِلَّا
مُبْتَلَى بِعَافِيَةٍ لِيُنْظَرَ كَيْفَ شُكْرُهُ أَوْ مُبْتَلَى بِبَلِيَّةٍ
لِيُنْظَرَ كَيْفَ صَبْرُهُ
“Manusia pasti diuji dengan kesehatan untuk dilihat bagaimana
wujud syukurnya, atau di uji dengan bencana untuk dilihat sejauh mana
kesabarannya.”
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ
قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السُّخْطُ
“Besarnya pahala sesuai dengan besarnya
cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan
menguji mereka. Oleh karena itu, barang siapa rida (menerima cobaan tersebut)
maka baginya keridaan, dan barang siapa murka maka baginya kemurkaan.”
2.
Bersabar tidak
melakukan maksiat.
Setiap saat seorang muslim pasti selalu
mendapat godaan dari makhluk yang terlihat nyata atau pun makhluk yang gaib
untuk melakukan maksiat. Baik itu perbuatan dosa kecil maupun besar, seorang
muslim harusnya sabar untuk menahan diri. Dosa-dosa yang tidak sengaja
dilakukan seperti melihat yang tidak seharusnya dilihat dan menggunjing orang
lain termasuk perbuatan yang harusnya dihindari.
Para ulama mengatakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam
lari karena takut tidak bisa lagi menahan dirinya. Sementara kata Allah ﷻ,
وَلَقَدْ
هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا
“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak
kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya.” (QS. Yusuf : 24)
Nabi Yusuf ‘alaihissalam sebagai manusia
biasa juga ternyata telah tergerak syahwatnya melihat wanita yang begitu cantik
di hadapannya. Akan tetapi dia memilih untuk kabur dan lari meninggalkan wanita
tersebut. Sungguh ujian yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam
sangatlah luar biasa, siapakah pemuda di zaman sekarang yang bisa seperti Nabi
Yusuf ‘alaihissalam? Jangankan digoda oleh wanita cantik, mungkin digoda
oleh wanita biasa saja pun dia sudah tidak bisa menahan dirinya.
Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan di
zaman sekarang yang penuh fitnah ini sungguh tidaklah mudah. Akan tetapi kita
membutuhkan perjuangan agar bisa menghindarkan diri dari kemaksiatan tersebut.
Ada beberapa hal yang disebutkan oleh para ulama bahwa bersabar dari
kemaksiatan bisa ditempuh dengan tiga cara,
a.
Karena
takut kepada Allah
Betapa banyak orang yang sedang melakukan
kemaksiatan kemudian Allah ﷻ mencabut nyawanya tatkala itu juga. Kita tidak
pernah tahu kapan Allah ﷻ mencabut nyawa kita. Ketika kita meninggal dalam
keadaan bermaksiat, maka kita meninggal dalam keadaan suulkhatimah (mati yang
buruk). Mungkin terbetik di dalam benak kita bahwa kita ingin bertaubat dari
kemaksiatan yang dilakukan. Akan tetapi adakah jaminan bahwa kita meninggal
dalam keadaan telah bertaubat? Atau meninggal tatkala sedang bermaksiat kepada
Allah ﷻ? Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
قُلْ
إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Katakanlah
(Muhammad), “Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat),
jika aku mendurhakai Tuhanku.” (QS. Al-An’am : 15)
Maka dari itu hendaknya seseorang
merenungkan hal tersebut, agar dia bisa meninggalkan kemaksiatan. Karena bisa
saja Allah menurunkan azab atau mencabut nyawanya tatkala melakukan
kemaksiatan. Rasa takut kepada Allah ﷻ ini bisa membuat kita berhenti atau
bersabar untuk meninggalkan kemaksiatan.
b.
Karena
malu kepada Allah
Di antara yang bisa membuat seseorang
bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan adalah rasa malu kepada Allah ﷻ. Malu
jika dengan banyaknya kenikmatan yang Allah berikan, sedangkan kita
menggunakannya untuk membangkang dari perintah Allah ﷻ. Oleh karenanya tatkala
Nabi Yusuf ‘alaihissalam digoda oleh Zulaikha, beliau mengatakan,
مَعَاذَ
اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ
“Aku
berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” (QS. Yusuf : 23)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa
makna perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam
إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ada dua, pertama bahwa tuannya telah berbuat baik kepadanya,
sehingga tidak mungkin dia mengkhianati tuannya. Kedua bahwa Allah ﷻ telah
memberinya banyak kenikmatan, sehingga tidak pantas bagi beliau untuk
membangkang dari perintahnya dan melakukan zina dengan Zulaikha.
Bukankah Allah ﷻ telah memberikan banyak
kenikmatan kepada kita? Allah ﷻ berfirman,
أَلَمْ
نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya
sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?” (QS.
Al-Balad : 8-9)
Allah ﷻ telah memberikan kepada kita
nikmat penglihatan, akan tetapi kita gunakan untuk melihat hal-hal yang
diharamkan oleh Allah ﷻ? Allah ﷻ juga telah memberikan kita nikmat lisan, akan
tetapi kita gunakan untuk gibah, namimah dan yang ….lainnya? Sungguh banyak kenikmatan yang lain, akan
tetapi seharusnya kita malu jika nikmat yang Allah ﷻ berikan tersebut kita
gunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.
Oleh karenanya di antara cara agar
seseorang bisa bersabar dalam meninggalkan maksiat adalah rasa malu kepada
Allah ﷻ. Jika kita ingin kenikmatan itu terjaga pada diri kita, hendaknya kita
meninggalkan maksiat. Seorang penyair berkata,
إِذَا
كُنْتَ فِي نِعْمَةٍ فَارْعَهَا … فَإِنَّ الذُّنُوبَ تُزِيلُ النِّعَمْ
“Apabila
engkau dalam kenikmatan maka jagalah. Sesungguhnya dosa-dosa bisa menghilangkan
kenikmatan.”
Oleh karenanya Nabi ﷺ juga
mengatakan,
اسْتَحْيُوا
مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ
“Malulah
kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.”([5])
Latihlah diri kita untuk merasa malu
kepada Allah ﷻ. Jika kesehatan, pandangan, dan kenikmatan yang lain adalah
pemberian Allah ﷻ, lantas mengapa kemudian kita menggunakannya untuk membangkang
dan bermaksiat kepada Allah ﷻ.
c.
Karena
cinta kepada Allah
Di antara cara seseorang bisa bersabar
meninggalkan maksiat adalah karena rasa cinta kepada Allah ﷻ. Sebagaimana kita
ketahui bahwa ketika kita telah mencintai seseorang, maka pasti apa pun yang diperintahkan
oleh orang yang kita cintai akan kita kerjakan. Contohnya adalah seorang suami
yang mencintai istrinya, maka pasti apa pun yang diperintahkan oleh sang istri
akan dituruti oleh sang suami, selama dia bisa melakukannya. Apa pun yang
dilarang oleh istri terkadang akan dituruti oleh suami. Ini semua karena dasar
cinta sang suami kepada sang istri. Demikian juga seseorang yang mencintai
Allah ﷻ, apa pun yang Allah ﷻ larang, hendaknya tidak dilakukan.
Bukti seseorang mencintai Allah ﷻ adalah
dia melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Allah ﷻ, dan meninggalkan apa
yang dilarang oleh Allah ﷻ. Dengan melakukan ini pula, seseorang bisa
mendapatkan cinta Allah ﷻ. Ketahuilah bahwa setiap kali seseorang bermaksiat,
maka dia telah menghilangkan kecintaannya kepada Allah dari dirinya. Semakin
dia bermaksiat, maka akan semakin jauh dia dari Allah ﷻ. Sedangkan kita tidak
ingin jauh dari Allah ﷻ, karena jauh dari-Nya adalah sebuah musibah.
Betapa banyak orang yang mengaku cinta
kepada Allah ﷻ, akan tetapi tidak ada bukti cintanya. Malah sebaliknya yang dia
lakukan adalah bermaksiat kepada Allah ﷻ, yang itu bukti bahwa dia tidak cinta
kepada Allah ﷻ. Sesungguhnya konsekuensi dari orang yang mencintai Allah ﷻ
adalah apa yang diperintahkan oleh Allah dia kerjakan, dan apa yang dilarang
oleh Allah dia tinggalkan.
Inilah model kedua dari kesabaran dan
tidak kalah pentingnya, yaitu bersabar meninggalkan maksiat karena Allah ﷻ.
3.
Sabar
menjalani ketaatan
Banyak ayat Al-qur’an yang
memerintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepadanya.
Sabar dalam menjalankan ketaatan
bukanlah perkara yang mudah. Salat berjamaah lima waktu di masjid tidaklah
mudah. Memerintahkan keluarga untuk salat juga tidak mudah. Semuanya bisa
dilakukan hanya dengan kesabaran. Oleh karenanya Allah ﷻ mengatakan,
وَأْمُرْ
أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ
نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah keluargamu
melaksanakan salat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di
akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha : 132)
Allah ﷻ selanjutnya memerintahkan sabar
dalam taat silaturohim:,
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ
رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan
orang-orang yang menyambung (silaturahmi) terhadap apa yang diperintahkan Allah
agar dia menyambungnya, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab
yang buruk.” (QS. Al-Ra’d : 21)
Menyambung silaturahmi bukanlah perkara
yang mudah. Silaturahmi itu butuh kesabaran. Di antara silaturahmi yang
teragung adalah berbakti kepada orang tua. Oleh karenanya tatkala ada orang
yang meminta izin untuk ikut berjihad bersama Rasulullah ﷺ , beliau ﷺ
berkata,
أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Apakah
kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab: “Iya”. Maka Beliau
berkata: “Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti).” ([3])
Sabar menjalankan ketaatan :
وَالَّذِينَ
صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ
أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
“Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan
Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami
berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
(membalas) kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat
kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’d : 22)
Orang-orang yang bersabar karena mengharap wajah
Allah ﷻ, mendirikan salat, berinfak dan bersedekah, semuanya bisa dilakukan
dengan kesabaran. Terlebih lagi membalas keburukan dengan kebaikan juga
lebih-lebih membutuhkan kesabaran. Oleh karenanya dari semua ciri-ciri ini, di
akhir ayat Allah mengatakan bahwa malaikat akan memberi selamat kepada mereka
atas kesabaran mereka.
Nabi Shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
حُفَّتِ
الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَات
Artinya: Surga dikelilingi
oleh perkara-perkara yang tidak disukai oleh hawa nafsu manusia sedangkan
neraka dikelilingi oleh perkara-perkara yang disukai. (HR. Muslim)
Imam Ibnu Qudamah
al-maqdisi rahimakumullah mengatakan, “seorang hamba membutuhkan
kesabaran dalam melakukan ketaatan ketaatan, karena tapi jiwa manusia berpaling
dari peribadahan. kemudian diantara ibadah-ibadah ada yang tidak disukai
dengan sebab malas seperti shalat. dan diantara ibadah-ibadah ada yang
tidak disukai dengan sebab bakhil, seperti zakat. dan diantara
ibadah-ibadah ada yang tidak disukai dengan sebab keduanya jiwa dan harta
seperti Haji dan Jihad titik seorang yang mencari Ridha Allah Subhanahu
Wata’ala membutuhkan kesabaran melakukan ketaatan ketaatan di dalam tiga
keadaan:
Sabar adalah penolong umat muslim.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 153, yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ
وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)
D. Fadhilah Orang yang Sabar
Berikut ini hadits dan
keutamaannya jika kita bersikap sabar di situasi apa pun.
1.
Sabar membuat kita dapat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW
عَنْ
أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا
قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى
الْحَوْضِ
"Dari Usaid bin Hudlair
radliallahu anhum; ada seseorang dari kalangan Anshar yang berkata; 'Wahai
Rasulullah, tidakkah sepatutnya baginda mempekerjakanku sebagaimana baginda
telah mempekerjakan si fulan?'. Beliau menjawab: 'Sepeninggalku nanti, akan
kalian jumpai sikap-sikap utsrah (individualis, egoism, orang yang mementingkan
dirinya sendiri). Maka itu bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku
di telaga al-Haudl (di surga).'" ( HR. Bukhari ) [ No. 3792 Fathul Bari]
Shahih.
2.
Bersikap sabar dapat mendapat ganjaran surga
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا
قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةُ
"Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Allah Ta'ala berfirman: Tidak
ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku
mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar
kecuali surga.'" (HR. Bukhari) [ No. 6424 Fathul Bari] Shahih.
3.
Sifat sabar mencegah kita dari kemungkaran
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَمَّا نَزَلَتْ إِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِائَةٌ فَكُتِبَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَقَالَ سُفْيَانُ
غَيْرَ مَرَّةٍ أَنْ لَا يَفِرَّ عِشْرُونَ مِنْ مِائَتَيْنِ ثُمَّ نَزَلَتْ
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ الْآيَةَ فَكَتَبَ أَنْ لَا يَفِرَّ مِائَةٌ مِنْ
مِائَتَيْنِ وَزَادَ سُفْيَانُ مَرَّةً نَزَلَتْ حَرِّضْ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى
الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ قَالَ سُفْيَانُ وَقَالَ
ابْنُ شُبْرُمَةَ وَأُرَى الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ
مِثْلَ هَذَا
"Dari Ibnu Abbas radliallahu
anhuma tatkala turun ayat: 'Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada
seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
seribu dari pada orang kafir…' (Surat Al Anfal: 65). Maka diwajibkan kepada
mereka tidak ada seorang pun yang lari dari sepuluh orang.
Abu Sufyan berkali-kali mengatakan:
'Jangan sampai ada yang lari dua puluh orang dari dua ratus orang.' Kemudian
turunlah ayat: 'Sekarang Allah telah meringankan kepadamu.' (Al Anfal: 66).
Maka diwajibkan jangan sampai ada yang lari sebanyak seratus orang dari dua
ratus orang. Sufyan menambahkan juga; telah turun ayat; 'Hai Nabi, kobarkanlah
semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di
antaramu...' (Al Anfal: 65). Sufyan berkata; dan Ibnu Syubrumah berkata; 'Aku
melihat seperti inilah menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.'" (HR.
Bukhari) [No. 4652 Fathul Bari] Shahih.
4.
Allah SWT menjanjikan ganjaran kebaikan bagi hamba-Nya yang sabar
وقال
عليه الصلاة والسلام: {إذَا حَدثَ عَلى عَبْدٍ مُصِيبَةٌ في بَدَنِهِ أوْ مَالِهِ
أو وَلَدِهِ فاسْتَقْبَلَ ذٰلِكَ بِصَبْرٍ جَمِيلٍ اسْتَحْيَا الله يَوْمَ
القِيَامَةِ أَنْ يَنْصِبَ لَهُ مِيزانا أوْ يَنْشُرَ لَهُ دِيوانا
Nabi Shollallohu alaihi wasallam
bersabda: 'Ketika terjadi musibah pada seorang hamba, baik pada badannya,
hartanya atau anaknya kemudian dia menghadapinya dengan kesabaran yang baik,
maka pada hari kiamat Allah malu untuk memasang timbangan baginya dan malu
untuk membentangkan buku catatan amalannya.'"
5. Mendapat taufiq dari Allah SWT
وقال
عليه الصلاة والسلام: {الصَّبْرُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ: صَبْرٌ عَلَى
الفَرَائِضِ، وصَبْرٌ عَلَى المُصِيبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى أذَى النَّاسِ، وصَبْرٌ
عَلَى الفَقْرِ. فَالصَّبْرُ عَلَى الفَرائِضِ تَوْفِيقٌ، وَالصَّبْرُ عَلَى المُصِيبَةِ
مَثُوبَةٌ، وَالصَّبْرُ عَلَى أذَى النَّاسِ مَحَبَّةٌ، والصَّبْرُ عَلَى الفَقْرِ
رِضَا الله تَعَالى
"Nabi Shollallohu alaihi wasallam
bersabda: 'Sabar itu ada empat: sabar dalam menjalankan fardhu, sabar dalam
menghadapi musibah, sabar menghadapi gangguan manusia dan sabar dalam
kefakiran. Sabar dalam menjalankan kewajiban adalah taufiq, sabar dalam
menghadapi musibah berpahala, sabar dalam menghadapi gangguan manusia adalah
cinta dan sabar dalam kefakiran adalah ridho Allah ta'ala.''
6.
Dengan sabar, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari seisi dunia
وقال
عليه الصلاة والسلام: {صَبْرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيها}.
"Nabi saw bersabda: 'Sabar sesaat
itu lebih baik dari dunia seisinya.'"
7.
Mendapat pahala sebesar 70 derajat
وقال
عليه الصلاة والسلام: {الصَّبْرُ عِنْدَ المُصِيبَةِ بِتِسْعمَائة دَرَجَةٍ}.
"Nabi Shollallohu alaihi wasallam
bersabda: 'Sabar ketika mendapat musibah itu memperoleh tujuh ratus
derajat.'"
8.
Sabar adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT
وقال صلى الله عليه وسلم: {أَوْحَى الله تَعَالى إلى
مُوسَى بنِ عمْرَانِ عَلَيْهِمَا السَّلامُ يَا مُوسَى مَنْ لَمْ يَرْضَ
بِقَضَائِي وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بلائي وَلَمْ يَشْكُرْ نَعمائي فَلْيَخْرُجْ
مِنْ بَيْنِ أَرضي وَسَمَائِي وَلْيَطْلُبْ لَهُ رَبّا سِوائِي
"Nabi Shollallohu alaihi wasallam
bersabda: 'Allah ta'ala mewahyukan kepada Musa bin Imran -alaihimas salaam-:
'Hai Musa, barang siapa tidak ridho dengan takdir-Ku, tidak bersabar atas
cobaan-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku, maka keluarlah dari antara bumi dan
langit-Ku, dan carilah Tuhan selain-Ku.'"
9.
Mendapatkan pahala terbaik dibandingkan dengan apa yang telah kita kerjakan
sebelumnya
مَا
عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ ۗ وَلَنَجْزِيَنَّ ٱلَّذِينَ
صَبَرُوٓا۟ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
"Apa yang di sisimu akan lenyap,
dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi
balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl ayat 96).
10.
Mendapatkan pahala yang tiada batasnya
قُلْ
يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟
فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا
يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku
yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu'. Orang-orang yang berbuat baik di
dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas." (Az-Zumar ayat 10).
Sumber
:
Disarikan
dari kitab Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 42-43.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnul
Jauzi, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah
Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 20.
Bahraen, R. (2021). Apapun Keadaannya, Jangan Pernah Tinggalkan
Majelis Ilmu.
Lathifah, R. (2020). Titik-Titik Transformasi Dalam Hidup: A Self-Discovery Journey. Malang: Litera Media Tama
Pratiwi, B. F. N., & Dwijayanti, R. (2020). Pengaruh Gaya Hidup dan
Kelompok Acuan Terhadap Keputusan Pembelian: Studi pada Konsumen Kedai Kopi
Ruang Temu Kabupaten Tulungagung. Jurnal
Pendidikan Tata Niaga (JPTN), 8(2), 1502. ISSN 2337-6078