menu

#mbtnavbar { background: #060505; width: 960px; color: #FFF; margin: 0px; padding: 0; position: relative; border-top:0px solid #960100; height:35px; } #mbtnav { margin: 0; padding: 0; } #mbtnav ul { float: left; list-style: none; margin: 0; padding: 0; } #mbtnav li { list-style: none; margin: 0; padding: 0; border-left:1px solid #333; border-right:1px solid #333; height:35px; } #mbtnav li a, #mbtnav li a:link, #mbtnav li a:visited { color: #FFF; display: block; font:normal 12px Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 9px 12px 10px 12px; text-decoration: none; } #mbtnav li a:hover, #mbtnav li a:active { background: #BF0100; color: #FFF; display: block; text-decoration: none; margin: 0; padding: 9px 12px 10px 12px; } #mbtnav li { float: left; padding: 0; } #mbtnav li ul { z-index: 9999; position: absolute; left: -999em; height: auto; width: 160px; margin: 0; padding: 0; } #mbtnav li ul a { width: 140px; } #mbtnav li ul ul { margin: -25px 0 0 161px; } #mbtnav li:hover ul ul, #mbtnav li:hover ul ul ul, #mbtnav li.sfhover ul ul, #mbtnav li.sfhover ul ul ul { left: -999em; } #mbtnav li:hover ul, #mbtnav li li:hover ul, #mbtnav li li li:hover ul, #mbtnav li.sfhover ul, #mbtnav li li.sfhover ul, #mbtnav li li li.sfhover ul { left: auto; } #mbtnav li:hover, #mbtnav li.sfhover { position: static; } #mbtnav li li a, #mbtnav li li a:link, #mbtnav li li a:visited { background: #BF0100; width: 120px; color: #FFF; display: block; font:normal 12px Helvetica, sans-serif; margin: 0; padding: 9px 12px 10px 12px; text-decoration: none; z-index:9999; border-bottom:1px dotted #333; } #mbtnav li li a:hover, #mbtnavli li a:active { background: #060505; color: #FFF; display: block; margin: 0; padding: 9px 12px 10px 12px; text-decoration: none; }

10 NASIHAT YANG MENYELAMATKAN

 10 NASIHAT YANG MENYELAMATKAN

Oleh : Miskun, S.Pd, M.P.d

Kepala SD Muhammadiyah Kebumen

 

 

 

Chapter 1#

PENTINGNYA NASIHAT

A. Pentingnya Nasihat

Manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah lupa. Pada satu waktu ia berbuat baik, namun pada waktu lain berbuat buruk. Suatu saat ia ingat, pada saat lain lupa. Pada satu waktu ia benar, pada waktu lain salah. Di sinilah pentingnya nasihat dan saran untuk mengingatkan. Melalui nasihat, orang salah menjadi benar, orang baik menjadi lebih baik, orang lupa menjadi ingat, dan seterusnya.

Sebuah keburukan bukan untuk dilanjutkan, apalagi sampai menjadi budaya, melainkan diperbaiki. Hal tersebut perlu nasihat dan peringatan. Pengetahuan manusia terbatas, tak bisa menjangkau segala hal. Ia perlu mendengarkan nasihat orang lain karena terkadang Allah memberikan petunjuk kepadanya melalui nasihat orang lain.

 

B. Arti Nasihat

Pengertian nasihat menurut Al Khottobi rahimahullah,

النصيحةُ كلمةٌ يُعبر بها عن جملة هي إرادةُ الخيرِ للمنصوح له

“Nasehat adalah kalimat ungkapan yang bermakna memberikan kebaikan kepada yang dinasehati” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 219).

Sedangkan menurut Al Hasan Al Bashri :

إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة

“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada orang lain.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 224).

 

C. Perintah Salin Menasihati

Allah Ta’ala berfirman,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).

Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui akan kelemahan dan kelebihan yang ada pada diri hamba-Nya. Oleh karenanya Allah menurunkan Islam sebagai nasehat bagi siapapun yang menginginkan kebahagiaan yang hakiki. Siapapun yang meyakini, memahami, menjalankan dan berkomitmen pada nilai, ajaran dan nasehat Islam, ia pasti akan menggapai kebahagiaan itu, Rasulullah SAW bersabda:

 

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari ra, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim).

 

Dari hadist tersebut, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menekankan nasehatnya pada lima hal utama yaitu:

 Pertama, lillahi (untuk Allah). Maksudnya adalah keharusan dan kewajiban kita untuk bertauhid kepada Allah dengan lurus dan benar secara lahir maupun batin. Nilai tauhid inilah yang akan membawa perubahan dalam kehidupan kita ke arah yang diridhai dan diberkahi oleh-Nya.

 

Kedua, likitabihi (untuk kitab-Nya). Maksudnya, kita harus serius mempelajari dan memahami Al-Qur’an dengan benar, serta berusaha menerapkannya dalam semua sisi kehidupan sehingga terwujudlah irama dan harmoni kehidupan yang indah mempesona serta memikat hati.

 

Ketiga, lirasulihi (untuk rasul-Nya). Maksudnya, kita diperintahkan untuk meyakini dan menelaah dengan baik contoh nyata kehidupan para nabi, khususnya Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, untuk kemudian kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Keempat, lia’immatil muslimin (untuk para pemimpin umat Islam). Para pemimpin umat memiliki tanggung jawab dan andil besar dalam mengarahkan dan membimbing kehidupan masyarakat. Karena itu mereka haruslah orang yang betul-betul berkualitas, berkapasitas, kredibel, memahami persoalan umat dan mampu menyelesaikannya berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Kemudian, jika mereka melakukan kesalahan hendaknya diberi nasehat. Adapun jika mereka berada diatas kebenaran maka hendaknya kita taat dan mendukung mereka.

 

Kelima, untuk umat Islam seluruhnya. Maksudnya, masyarakat muslim hendaknya memahami hak dan kewajiban mereka untuk saling menasehati satu sama lain.

 

Integrasi lima hal ini akan melahirkan kesadaran yang tinggi pada diri semua pihak akan hak dan kewajiban masing-masing, hingga terwujudlah kesatuan pemahaman, sikap dan langkah dalam memperbaiki kualitas kehidupan berdasarkan nilai dan nasehat Islam.

 

Dan Allah Ta’ala telah mengumpulkannya dengan menyebutkannya di dalam surat Al ’Ashr,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya tetap di atas kesabaran” (QS. Al-’Ashr [103]: 1-3).

 

Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya di dalam surat yang ringkas namun sangat agung ini bahwa sebab keberuntungan itu terbatas kepada empat sifat saja.

 

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menasehati sesama muslim (selain ulil amri) berarti adalah menunjuki berbagai maslahat untuk mereka yaitu dalam urusan dunia dan akhirat mereka, tidak menyakiti mereka, mengajarkan perkara yang mereka tidak tahu, menolong mereka dengan perkataan dan perbuatan, menutupi aib mereka, menghilangkan mereka dari bahaya dan memberikan mereka manfaat serta melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.” (Syarh Shahih Muslim, 2: 35).

 

Nasehat dari Umar ra. pernah menyatakan:

رحم الله امرأً أهدى إلينا مساوئنا.

Artinya: “Semoga Allah merahmati orang yang menunjuki kita kekurangan-kekurangan kita.” (Adabuddin wad Dunya)

 

D. Adab memberi Nasihat

1. Nasihat yang paling baik adalah nasehat yang diberikan ketika seseorang meminta nasihat.

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ’Jika seseorang meminta nasehat, maka nasehatilah ia.” Kemungkinan besar, seseorang yang meminta nasihat akan merasa lebih siap untuk menerima berbagai macam nasihat yang disampaikan kepadanya.

 

2. Nasehat hendaknya diniatkan untuk perbaikan dan disampaikan dengan penuh keikhlasan. Niat yang tulus dan ikhlas akan merasuk dalam kata-kata yang terucap oleh lidah ketika sebuah nasihat disampaikan. Dalam keadaan ini, seolah-olah sang pemberi nasihat berbicara dari lubuk hatinya, dan berusaha untuk memasuki relung hati orang yang ia beri nasihat. Nasihat yang demikian biasanya lebih mengena di hati orang yang diberi nasihat.

 

3. Pertimbangkanlah waktu, situasi dan kondisi. Juga, sampaikanlah nasihat dengan cara yang menyejukkan agar nasehat lebih mengena. Nasihat yang sama bisa jadi akan ditangkap dan dipahami berbeda jika disampaikan pada waktu, situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai mencari waktu, situasi dan kondisi yang pas dan kondusif. Demikian pula tata cara kita dalam memberikan nasehat akan sangat berpengaruh pada seberapa jauh nasihat kita bisa diterima. Jika disampaikan dengan cara yang halus dan bahasa yang baik, insyaallah nasihat akan lebih mudah diterima. Berbeda halnya jika sebuah nasihat disampaikan dengan cara yang kasar dan menyakitkan.

 

4. Berikanlah motivasi (dorongan) bukan justifikasi (menghakimi). Jangan sekali-kali kita memberikan nasihat dengan cara menghakimi, karena setiap orang pasti tidak suka dihakimi. Nasihat yang menghakimi bisa-bisa justru menyebabkan orang yang diberi nasihat merasa putus asa dan patah semangat. Atau jika tidak, bisa jadi ia akan resisten pada nasihat yang kita sampaikan.

 

5. Berikanlah alternatif solusi dan jangan malah memperburuk situasi. Orang yang butuh nasihat pada dasarnya memerlukan bantuan. Oleh karena itu, hendaknya kita membantunya dan bukan malah mempersulit keadaannya.

 

6. Nasehat sebisa mungkin disampaikan dengan tidak diketahui oleh orang lain, agar dapat menutupi kekurangan dan aib saudara kita. Jangan sampai kita menasehati seseorang dengan cara menghujat dan memaki-makinya didepan orang banyak.

 

7. Dalam kondisi kita yakin bahwa orang yang akan kita nasehati akan menerima dan tidak bereaksi negatif pada nasehat kita, kita wajib memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya orang yang akan kita nasehati justru akan bereaksi negatif bahkan membahayakan jiwa, maka dalam kondisi ini kita bisa memilih untuk menasehati atau tidak.

 

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita dengan nasehat agama-Nya melalui orang-orang yang ikhlas dalam menyampaikanny

 

E. Hikmah, Tujuan dan Manfaat Nasihat

1. Cambuk hati

Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbaly rahimahullah berkata,

المواعظ سياط تضرب القلوب فتؤثر في القلوب كتأثير السياط في البدن.

"Nasihat-nasihat adalah cemeti yang mencambuk hati. Ia memberi bekas pada hati seperti bekas cambukan pada badan. (Lathaiful Ma’arif, hlm. 16)

 

2. Menegakkan hujjah Allah Ta’ala atas hamba-Nya

Allah ta’ala berfirman:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ …

(Mereka kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu …” (QS. An-Nisaa’: 165).

 

3. Sebagai alasan kepada Allah Ta’ala (bahwa ia telah melaksanakan tanggung jawabnya) dan terlepas dari beban kewajiban.

Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang shalih tentang suatu kaum yang mana sebagian mereka melanggar aturan-Nya yang ditetapkan pada hari Sabtu. Allah Ta’ala berfirman:

… قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“… Mereka menjawab: ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb-mu, dan supaya mereka bertaqwa.” (QS. Al-A’raaf: 164)

4. Mengharapkan adanya manfaat (perubahan) bagi orang-orang yang dinasehati.

Seperti firman Allah Ta’ala :

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz-Dzaariyaat: 55).

 

5. Mengharap pahala dari Allah Ta’ala

Karena dakwah melalui nasehat adalah salah satu pintu yang agung dari pintu-pintu kebaikan.

 

6. Sebagai nasehat bagi kaum muslimin dan sebagai ungkapan kasih sayang terhadap mereka.

Cinta akan kebaikan untuk mereka, suka menyelamatkan mereka dari hal-hal yang akan menjerumuskan diri mereka pada sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan akibat siksa yang akan dideritanya di dunia dan di akhirat.

 



Chapter 2#

 

 

BELAJAR ILMU AGAMA

 

 

A.     Pentingnya mempelajari ilmu agama

Dalam Islam kebutuhan manusia terhadap ilmu syar’i (ilmu agama) sangat tinggi, maka menuntut ilmu syar’i menempati kedudukan yang sangat penting dan mendasar di antara ajaran-ajaran Islam yang lainnya.

 Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ. لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ. وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ

“Kebutuhan manusia terhadap ilmu (syar’i) itu melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Hal itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman hanya sekali atau dua kali (saja), adapun kebutuhannya terhadap ilmu (syar’i) itu sebanyak tarikan nafasnya.[Madaarijus Saalikiin, 2/440] dan (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:297)

 

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebutuhan orang pada ilmu agama seperti kebutuhan orang pada air hujan, bahkan ilmu itu lebih dibutuhkan. Karena jika tidak memiliki ilmu tersebut sama halnya dengan tanah yang tidak pernah mendapati air hujan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:245-246).

Menurut Al-Hasan rahimahullaah berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud terhadap dunia dan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.”

Hal ini sejalan dengan hadist Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَخَيْرُ دِيْنِكُمُ الْوَرَعُ.

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 3972) dan al-Bazzar dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 68), lihat juga Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/106, no. 96)

Menurut ‘Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Orang yang berilmu lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.”

Menurut Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku mengetahui satu bab ilmu tentang perintah dan larangan lebih aku sukai daripada tujuh puluh kali melakukan jihad di jalan Allah.”

Menurut Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik setelah berbagai kewajiban syari’at daripada menuntut ilmu syar’i.

 

B. Keutamaan menuntut ilmu agama

1. Orang yang berilmu akan Allah angkat derajatnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara khusus tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu dan beriman. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: ‘Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Mujaadilah/58:11][3]

 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِـهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendah-kan beberapa kaum dengannya.” Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817)

Allah pun telah berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salaam:

نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas setiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” [Yusuf/12:76]

 

Disebutkan bahwa tafsir ayat di atas adalah bahwasanya Kami (Allah) mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan sebab ilmu. Sebagaimana Kami telah mengangkat derajat Yusuf ‘alaihis salaam di atas saudara-saudaranya dengan sebab ilmunya.

 

2. Orang yang berilmu adalah orang-orang yang takut kepada Allah

Allah mengabarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah Ta’ala, bahkan Allah mengkhususkan mereka di antara manusia dengan rasa takut tersebut. Allah berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir/35:28]

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah itu disebut sebagai ilmu. Dan cukuplah tertipu dengan tidak mengingat Allah disebut sebagai suatu kebodohan.” Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 8927) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (II/812, no. 1514).

Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Pokok ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” Apabila seseorang bertambah ilmunya, maka akan bertambah rasa takutnya kepada Allah. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 52).

 

3.  Faham dalam masalah agama termasuk tanda-tanda kebaikan

Dalam ash-Shahiihain dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat th. 78 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.”Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma.

 

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah, sebagaimana orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia menjadikannya faham dalam masalah agama. Dan barangsiapa yang diberikan pemahaman dalam agama, maka Allah telah menghendaki kebaikan untuknya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pemahaman (fiqh) adalah ilmu yang mengharuskan adanya amal

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketaqwaan kepada Allah Ta’ala.”

 

4.  Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan

Imam Syafi’I rahimahullah yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam muqaddimah karya beliau al Majmu’.  Imam Nawawi berkata

قال الشافعي رحمه الله تعالى : من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم

Imam Syafi’i RA berkata : Barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) dunia hendak lah dengan ilmu barangsiapa yang menginginkan (kebahagian)  akhirat hendaklah dengan ilmu. “.

 

Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

… إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ  ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا سَوَاءٌ.

“…Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang: (1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah). (2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan (4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.” Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).

 

5. Orang yang menuntut ilmu akan dido’akan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Dari Zaid bin Tsabit ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda“Semoga Allah mencerahkan wajah kepada orang yang mendengar sabdaku, kemudian dia menghafalkannya dan menyampaikannya pada yang lain. Betapa banyak orang yang menyampaikan hadits, namun dia tidak memahaminya. Terkadang pula orang yang menyampaikan hadits menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR.  Abu Daud, Ibnu Majah dan Ath Thobroni. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

 

Nadhrah itu kecerahan di wajah, kebahagiaan itu di hati. Nikmat dan baiknya hati akan tampak pada wajah. … Nadhrah ini adalah cerah di wajah bagi yang mendengar sunnah Rasul, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Itulah akhirnya berpengaruh pada hati dan batinnya. Lihat Miftah Daar As-Sa’adah, 1:273.

 

Seandainya keutamaan ilmu hanyalah ini saja, tentu sudah cukuplah hal itu untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi orang yang mendengar sabda beliau, lalu memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Maka, inilah empat tingkatan ilmu:

Tingkatan pertama dan kedua, yaitu mendengar dan memahaminya. Apabila ia mendengarnya, maka ia pun memahami dengan hatinya. Maksudnya, memikirkannya dan menetapkannya di dalam hatinya sebagaimana ditempatkannya sesuatu di dalam wadah yang tidak mungkin bisa keluar darinya. Demikian juga akalnya yang laksana tali kekang unta, sehingga ia tidak lari kesana-kemari. Wadah dan akal itu tidak mempunyai fungsi lain selain untuk menyimpan sesuatu.

Tingkatan ketiga, yaitu komitmen untuk menghafal ilmu agar ilmu tidak hilang.

Tingkatan keempat, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkannya kepada ummat agar ilmu membuahkan hasilnya, yaitu tersebar luas di tengah-tengah masyarakat.

Barangsiapa melakukan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup keindahan fisik dan psikis. Sesungguhnya kecerahan adalah hasil dari pengaruh iman, kebahagiaan batin, kegembiraan hati dan kesenangannya, kemudian hal itu menampakkan kecerahan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah. Allah Ta’ala berfirman:

تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” [Al-Muthaffifiin/83:24]

 

Jadi, kecerahan dan berseri-serinya wajah seseorang yang mendengar Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu memahami, menghafal, dan menyampaikannya adalah hasil dari kemanisan, kecerahan, dan kebahagiaan di dalam hati dan jiwanya.[28]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan perawi hadits dengan kebaikan dan keelokan wajah, baik di dunia maupun di akhirat. Dikatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menyampaikannya pada kenikmatan Surga.

Perawi hadits yang dido’akan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan keelokan wajah adalah perawi lafazh hadits, meskipun ia belum memahami semua makna hadits. Betapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya. Meskipun selamanya ia tidak memiliki pemahaman terhadap hadits. Banyak pembawa fiqih yang tidak memiliki pemahaman (yang memadai).

 

Ini menunjukkan tentang disyari’atkannya meriwayatkan hadits tanpa (harus) memahaminya (terlebih dahulu). Bahkan hal ini menunjukkan disukainya hal tersebut. Juga menunjukkan bahwa meriwayatkan hadits tanpa pengetahuannya terhadap pemahaman hadits tersebut adalah perbuatan terpuji, tidak tercela. Dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan do’a Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[29]

 

6. Penuntut ilmu disamakan jihad di jalan Allah Allah Ta’ala

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Siapa yang keluar menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi, no. 2647. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan pula bahwa hadits ini dha’if). 

 

Abu Ad-Darda’ berkata, “Siapa yang menganggap bahwa berjihad dengan ilmu bukanlah jihad, maka ia akal dan logikanya telah salah.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:269-270)


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:

Pertama: berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.

Kedua: berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.

Ketiga: berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.

Keempat: berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.

Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani.[31]

 

 

 

7. Dimudahkan jalan kesurga

       عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصنَعُ ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
 قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga."

Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya untuk para penuntut ilmu karena suka dengan apa yang dia lakukan. Sesungguhnya seluruh makhluk di langit dan di bumi akan memohonkan ampunan kepada orang yang berilmu, termasuk ikan ditengah-tengah air. (Shahihul Jaami' 5/302

Abu Isa berkata; ini adalah hadits hasan. (HR. Tirmidzi) Shahih menurur Muh. Nashiruddin Al Albani.

Sumber : Disarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 42-43.

 

C.  Syarat memperoleh Ilmu

Pesan Imam Syafi'i bagi pencari ilmu pengetahuan dalam mahfudzot atau kata mutiara tentang syarat memperoleh ilmu adalah:


أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ

Wahai saudaraku… Ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) bekal (biaya), (5)bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”

 

Berikut adalah penjelasan tentang 6 syarat menuntut ilmu sebagaimana telah dituliskan diatas yang akan diurai secara singkat.

ذَكَاءٌ artinya Kecerdasan

Syarat pertama yaitu (ذَكَاءٌ ) zakaaun yang artinya kecerdasan. Seorang yang hendak menuntut ilmu disyaratkan memiliki kecerdasan kemampuan untuk menangkap materi pelajaran atau ilmu yang disampaikan, didapatkan dengan pengalaman riset dan lain sebagainya.

Tanpa adanya kemampuan menangkap ilmu yang didapat maka akan menjadi kesulitan bagi penuntut ilmu untuk menguasai keilmuan yang di inginkan.

 

حِرْصٌ artinya kemauan yang kuat

Dalam mencari ilmu tentu diperlukan semangat dan kemauan untuk menguasai keilmuan yang di inginkan.

Apabila tidak ada kemauan yang kuat dari orang yang menuntut ilmu maka kelakuannya untuk mendapatkan ilmu tidak bisa maksimal.

Dengan begitu apabila hendak mencari ilmu dan berhasil menguasai materi yang dipelajari maka harus ada kemauan yang sangat kuat dari diri orang tersebut.

 

اجْتِهَادٌ artinya bersungguh-sungguh

Selain kemauan yang kuat, komponen yang lain yaitu kesungguhan dalam mencarinya atau bersungguh – sungguh untuk mendapatkan ilmu tersebut.

Macam macam cara yang menunjukkan kesungguhan pencarian ilmu seperti rajin belajar, giat mengerjakan tugas, banyak membaca, rutin membuat percobaan dan lain sebagainya.

Tentunya semangat dan kemauan yang kuat tidak banyak berarti apabila dalam menuntut ilmu tidak dengan kesungguhan dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya.

 

بُلْغَةٌ artinya perbekalan yang cukup

Kesungguhan menuntut ilmu membuat keniscayaan memerlukan biaya, bagi yang memang hendak menuntut ilmu maka perlu dipersiapkan perbekalan yang memadai.

Entah biaya transportasi, uang SPP, dana untuk penelitian, membeli buku dan peralatan maupun ragat membayar guru dan gaji tempat belajar seperti pada sekolah swasta yang relatif tidak murah.

Jika perbekalan kurang mencukupi maka proses pencarian ilmu bisa terganggu dan tersendat.

 

صُحْبَةُ أُسْتَاذٍ artinya kedekatan dengan guru

Untuk mencapai keilmuan yang bagus maka salah satu cara tercepat yaitu dengan belajar kepada ahlinya.

Dengan sering berkumpul dan banyak menemani guru alias sang ahli dalam bidang yang kita pelajari bisa memaksimalkan potensi transfer keilmuan kepada anda.

Kira-kira Seperti dalam lagu milik Cak Nun (Emha Ainun Najib) yang berjudul “tombo ati” dalam rangkaian kalimat wong kang soleh kumpulono (dan berkumpullah dengan orang yang soleh).

 

طُوْلُ زَمَانٍ artinya waktu yang lama

Apabila memang berniat sungguh sungguh dalam menuntut ilmu maka tidak hanya cukup dalam sehari dua hari seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, akan tetapi bertahun tahun.

Begitulah informasi tentang syarat menuntut ilmu yang berjumlah 6 menurut Imam Syafi’i yang tertuang dalam kata mutiara mahfudzot arab yang dilengkapi tulisan latin teks arab dan terjemah bahasa Indonesia.



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 3#

 

FADILAH BELAJAR

 

Menurut sebagian ulama orang yang rajin mempelajari ilmu dengan benar (niat dan caranya) akan melahirkan tiga muara atau terminal, yaitu sebagai berikut :

 

1.   Tilawah : budaya baca Menurut data UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization), minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan peringkat dua dari bawah, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Padahal peradaban manusia itu dimulai dari membaca, 

مَا أَنَا بِقَارِئٍ

Aku tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan

Fenomena manusia era sekarang semakin memperihatinkan dalam budaya baca, coba lihat saja dimensos masing-masing akun : (banyak informasi yang hanya dibaca sebatas dibaca judulnya, kemudian dishare atau dikirim, yang lain menerima kiriman juga seperti itu) kalau boleh dibandingkan antara membaca yang wajib : alqur’an, buku tugas kerja seperti regulasi, sop, dengan membaca wa, faceebook, twiter dll. Lebih banyak mana?

2.   Tazkiyah: kesucian:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ . إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

pada hari (kiamat) saat harta dan anak-anak tidak bermanfaat. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat (Q.S asy-Syu'araa' ayat 88-89).

Yang mengotori hati ada 3 hal :

a.       Iri adalah menderita ketika melihat orang bahagia, dan bahagia ketika melihat orang menderita.

Adapun  dengki adalah sebuah emosi yang dimiliki seseorang untuk menghilangkan kenikmatan seseorang yang datang dari Allah SWT

Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- Rasulullah SAW bersabda:

 لا تَحاسدُوا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

“Jangan kalian saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Solusinya Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

تَهَادَوْا تَحَابُّوا

“Saling memberikan hadiah niscaya kamu akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

b.   Nifaq: munafiq

Ciri-ciri sifatnya Allah Ta’ala berfirman,

c.   وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan (pemimpin) mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”

(QS. Al-Baqarah [2]: 14

إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka (orang munafik) bersedih hati. Tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 120)

 

c.     Takabur: sombong

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim, no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ûd]

Dalam hadits qudsi yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: إِنَّ الْعِزَّ إِزَارِيْ وَالْكِبْرِيَاءَ رِدَائِيْ فَمَنْ نَازِعُنِيْ فِيْهِمَا عَذَّبْتُهُ. (رواه الطبراني)

Sesunguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Kemuliaan adalah pakaian-Ku dan sombong adalah selendang-Ku. Barangsiapa yang mengambilnya dariku, Aku Adzab dia. (HR. Muslim)

 ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: شيخ زان، وملك كذاب، وعائل مستكبر.

Tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara dengannya kelak pada Hari Kiamat, tidak membersihkan mereka, dan tidak melihat kepada mereka, serta bagi mereka adzab yang pedih : seorang tua yang berzina, penguasa yang pendusta, orang miskin yang sombong.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رض اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُوْتُ حِيْنَ يَمُوْتُ وَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ تَحِلُّ لَهُ اْلجَنَّةُ اَنْ يَرِيْحَ رِيْحَهَا وَ لاَ يَرَاهَا. احمد فى الترغيب و الترهيب 3: 566

 

Dari Uqbah bin 'Amir RA, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW, bersabda, "Orang yang meninggal dunia, dan ketika ia meninggal itu di dalam hatinya masih ada sebesar biji sawi dari sombong, maka tidaklah halal baginya surga, tidak mencium baunya dan tidak pula melihatnya". [HR. Ahmad, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 566]

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.

“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” (H.R. Muslim no. 3766).

 لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Alloh itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)

 عَنْ فَضَالَةَ بْن عُبَيْدٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ يُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ رِدَاءَهُ، فَاِنَّ رِدَاءَهُ اْلكِبْرُ، وَ اِزَارَهُ اْلعِزُّ، وَ رَجُلٌ فِى شَكّ مِنْ اَمْرِ اللهِ، وَ اْلقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَتِهِ. الطبرانى فى الترغيب و الترهيب 3: 562

Dari Fadlalah bin 'Ubaid RA ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Ada tiga golongan yang tidak perlu ditanya tentang mereka itu (dan langsung dimasukkan neraka) yaitu : 1. Orang yang mencabut selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah itu adalah sombong dan pakaian-Nya adalah kebesaran, 2. Orang yang ragu-ragu terhadap perintah Allah dan, 3. Orang yang putus asa dari rahmat Allah". [HR. Thabarani, dalam Tarhib wat Targhib juz 3, hal. 562]

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ

“Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)”. [Hadits Hasan. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]

Kebalikan Sombong adalah Tawadhu :

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

‘Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain” (HR Muslim no. 2865).

 عَنْ عِيَاضِ بْنِ حَمَّادٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اللهَ اَوْحَى اِلَيَّ اَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ اَحَدٌ عَلَى اَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ اَحَدٌ عَلَى اَحَدٍ. مسلم و ابو داود و ابن ماجه فى الترغيب و الترهيب 3: 557

Dari 'Iyadl bin Hammad RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada saya agar supaya kamu sekalian bertawadlu', sehingga seseorang tidak merasa sombong terhadap yang lain dan seseorang tidak pula berbuat dhalim terhadap yang lain". [HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 557]

3.       Ta’lim : mengambil ibroh/pandai mengambil pelajaran setiap kejadian

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

 “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269).

 

Setiap kejadian yang menimpa manusia tidak ada yang sia-sia, semua syarat dengan ilmu, hikmah dan pelajaran yang sangat berharga

a.     Apabila seorang terkena sakit ia dapat mengambil hikmahnya

b.     Fenomena kehadiran virus corona manusia pembelajar akan dapat mengambil pelajaran

c.     Siapapun yang yang Alloh luaskan kekayaan atau terkena tadkdir hanya kecupuan dalam harta tetap ada hikmah yang bisa ia terima.

d.     Termasuk disajikan berbagai kisah seperti Fir’aun dan Nabi Musa as, kisah nabi Ibrohim as dan namrud semua full pelajaran hidup, agar  lebih waspada dalam menjalani episode kehidupn.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 4#

 

 

 

THE POWER OF ISTIGHFAR

 

Sesungguhnya Robb kita yang Maha mulia telah memperbanyak pintu-pintu kebaikan dan jalan-jalan untuk beramal sholeh sebagai bentuk karunia, kasih sayang, kedermawanan, serta menjadi wasilah kebaikan bagi hambanya, agar seorang muslim masuk ke pintu kebaikan dari mana saja dan menempuh jalan ketaatan pilihannya, sehingga Allah memperbaiki kehidupan dunianya, dan mengangkat derajatnya di akhirat. Allah SWT menegaskan tentang hal ini agar hambanya terus menerus berbuat kebaikan dimanapun berada, sebagaimana  Firman Alloh SWT:

 

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Baqoroh : 148)

 

Allah berfirman tentang para Nabi –’alaihis salam yang merupakan teladan bagi umat manusia

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu´ kepada Kami (QS Al-Anbiyaa : 90)

 

Diantara pintu-pintu kebaikan dan jalan-jalan ketaatan serta sebab terhapusnya dosa-dosa hamba adalah istighfar. Taubat adalah sunnahnya para nabi dan rasul ‘alaihimus salam. Allah berfirman tentang dua nenek moyang manusia :

 

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al-A’rof : 23)

 

Dan Allah berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam :

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. (Qs Nuuh : 28)

 

Diantara petunjuk dan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah banyak beristighfar meskipun Allah telah mengampuni bagi dosa beliau yang telah lalu maupun yang akan datang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! تُوْبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَاسْتَغْفِرُوْهُ، فَإِنِّي أَتُوْبُ إِلى اللهِ وَأَسْتَغْفِرُهُ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai manusia ! bertobatlah kalian kepada Tuhan kalian dan mintalah ampun kepadaNya. Sesungguhnya aku sendiri bertobat kepada Allah dan memohon ampunanNya setiap hari Seratus kali “. HR An-Nasai HR. Muslim no. 2702

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan pada umatnya untuk memperbanyak istighfar. Karena manusia tidaklah luput dari kesalahan dan dosa, sehingga istighfar dan taubat mesti dijaga setiap saat.

Dari Al Aghorr Al Muzanni, yang merupakan sahabat Nabi, bahwa Nabi SAW  bersabda,

إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِى وَإِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِى الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Ketika hatiku malas, aku beristighfar pada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702).

Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan bahwa makna hadits di atas, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan malas beliau membacanya seperti itu. Artinya, beliau rutin terus mengamalkan dzikir istighfar setiap harinya. Lihat Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi, 17: 22.

 

Istighfar merupakan kebiasaan orang-orang shalih dan bertakwa, serta merupakan syi’ar kaum mukminin. Allah berfirman tentang mereka :

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (16) الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,  (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur (Qs Ali-‘Imron : 16-17)

 

Begitu banyak fadhilah keutamaan membiasakan istighfar:

Sebagaimana hadist dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:  Rasul shallallahu’alaihiwasallam yang menunjukkan bahwa memperbanyak istighfar merupakan salah satu kunci rizki, suatu hadits yang berbunyi:

“مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”

“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”  (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir).

 

Istighfar mampu mencegah hukuman Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dalam Firmannya :

فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

 “dan tidak mungkin pula Allah menghukum mereka sementara mereka sedang beristighfar “ (QS Al-Anfaal : 33)


فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا * يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا * وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

 

Hal ini juga sejalan dengan surat Hud ayat 52

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Lalu bertaubat lah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang deras untukmu. Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa” (Hud: 52)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فَأَخْبَرَ سُبْحَانَهُ أَنَّهُ لَا يُعـَذِّبُ مُسْتَغـْفِرًا؛ لِأَنَّ الِاسْتِغـْفَارَ يَمْحـُو الـذَّنْبَ الَّـذِي هـُوَ سَبَبُ الْـعَذَابِ، فَيَنْدَفِـعُ الْـعَذَابُ

"Allah Ta'ala mengabarkan, bahwa Allah Ta'ala tidak akan mengazab orang yang beristighfar (memohon ampun dari dosa). Karena istighfar itu akan menghapus dosa yang dosa itu sendiri merupakan penyebab datangnya adzab, sehingga adzab itupun sirna dengan cepat.

 

Orang yang banyak membaca kalimat thayyibah ini, akan mendapatkan keberuntungan terutama di akhirat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِى صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

“Beruntunglah orang yang di dalam catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak.” (HR Ibnu Majah)

مَنْ أَحَبَّ أَنْ تَسُرَّهُ صَحِيْفَتُهُ فَلْيُكْثِرْ فِيْهَا مِنَ الْاِسْتِغْفَارِ

“Barangsiapa yang ingin catatan amalnya menyenangkannya, maka perbanyaklah istighfar.” (HR Baihaqi)

 

 Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

يَا ابنَ آدمَ إِنَّك لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي

“Wahai anak Adam, Andaikata dosa-dosamu telah mencapai setinggi langit lalu maku meminta ampun kepadaKu, Akupun mengampunimu tanpa mempedulikan”  (HR Turmuzi. Dikatakannya sebagai hadis hasan).

Dan ini merupakan bentuk berbuat baik yang besar untuk kaum mukminin. Wahai hamba-hamba Allah. Laksanakanlah perintah TuhanMu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadis Qudsi :

 

يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian semua berbuat salah di malam dan siang hari, sedangkan Aku mengampuni segala dosa, maka mohonlah ampun kepadaKu, niscaya Aku mengampuni kalian semua “ (HR Muslim dari hadis Abi Zar).

 

Jangan dikira bahwa dengan ucapan yang sederhana saja, rezeki mudah datang dan hujan mudah Allah turunkan. Ucapan yang sederhana tersebut adalah ucapan istighfar. Dengan memohon ampun pada Allah dan tinggalkan maksiat, niscaya pintu rezeki akan terbuka dan hujan pun akan diturunkan dengan deras.

Ayat inilah yang bisa diambil pelajaran,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

 

Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan mengenai ayat di atas, “Tinggalkanlah dosa, beristighfarlah pada Allah atas dosa yang kalian perbuat. Sungguh Allah itu Maha Pengampun. Dosa yang begitu banyak akan dimaafkan oleh Allah. Maka hendaklah mereka segera memohon ampun pada Allah meraih pahala dan hilanglah musibah. Allah pun akan memberikan karunia yang disegerakan di dunia dengan istighfar tersebut yaitu akan diturunkan hujan dengan deras dari langit, juga akan dikarunia harta dan anak yang diharapkan. Begitu pula akan diberi karunia kebun dan sungai di antara kelezatan dunia.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 889). Itulah faedah istighfar dan meninggalkan dosa atau maksiat.

Terdapat sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah yang menunjukkan bagaimana faedah istighfar yang luar biasa.

أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة

“Sesungguhnya seseorang pernah mengadukan kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya). Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di atas. (Riwayat ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 11: 98)

 

Ketika menjelaskan surat Nuh di atas, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika kalian meminta ampun (beristigfar) kepada Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan mendapatkan banyak rizki, akan diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian akan diberi keberkahan dari tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman, dilimpahkannya air susu, dilapangkannyaharta, serta dikaruniakan anak dan keturunan. Di samping itu, Allah juga akan memberikan pada kalian kebun-kebun dengan berbagai buah yang di tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 388)

Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, “Maksud ayat niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, yaitu Allah akan menurunkan hujan dengan ucapan istighfar tersebut. Oleh karenanya, dianjurkan ketika shalat istisqa’ (shalat minta hujan) untuk membaca surat Nuh ini.” (Idem, 7: 387)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cahpter 5#

 

PILAR IBADAH

 

 

A. Definisi Ibadah

 

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

 

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang di-cintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Inilah definisi yang paling lengkap.

 

B. Pembagian Ibadah

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

 

Didalam Shahih Tafsir Ibnu Katsir: Menjelaskan bahwa  Ibadah yang ikhlas akan terwujud dengan sempurna apabila ditopang oleh pilar-pilar atau pondasi ibadah :

1. Pilar ibadah yang pertama adalah Cinta (Mahabbah)

Bagi seorang hamba, cinta adalah pilar ibadah yang paling penting, karena cinta adalah pokok dari ibadah. Oleh karena itu, kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (QS. Al Baqarah : 165)

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ

165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah SWT.

 

Kemudian cinta kita kepada Allah Ta’ala sebagai pilar ibadah haruslah kita buktikan. Adapun cara membuktikannya ? Salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah Ta’ala adalah dengan meneladani ibadah Rasulullah SAW, dan juga meneladani beliau dalam setiap perkara, sebagaimana dalam firman-Nya (QS. Ali Imran: 31)

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

 

2. Pilar ibadah yang kedua adalah Harap (Raja’)

Rasa harap yang dimaksud antara lain adalah harapan akan diterimanya amal kita, harapan kita agar dimasukkan ke dalam surga, harapan untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala, harapan agar dosa-dosa kita diampuni, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Allah Ta’ala berfirman (QS. Al Baqarah : 218)

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢١٨

218. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Rasa harap ini (yakni yang bernilai ibadah) mengandung dua unsur, yaitu adanya perendahan diri (serendah-rendahnya) dan ketundukan (sepasrah-pasrahnya) kepada objek yang diharapkan  yaitu Allah SWT.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Terjemah:”Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS. Az Zumar: 53

 

 

3. Pilar ibadah ketiga yang harus kita miliki adalah rasa takut (khauf).

Dengan adanya rasa takut, seorang hamba akan termotivasi untuk rajin mencari  ilmu dan beribadah hanya kepada Allah SWT sehingga terhindar dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat dosa dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman

 (QS. Al Anbiya : 49)

ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ وَهُم مِّنَ ٱلسَّاعَةِ مُشۡفِقُونَ ٤٩

49. (yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.

 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan manusia paling bertaqwa, manusia yang paling tinggi tingkatannya, pun berdo’a kepada Allah dengan do’a

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

  Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka” (HR. Abu Dawud)

Dan juga hadits dari Sahabat Anas berkata, “Doa yang paling banyak dipanjatkan Nabi SAW adalah: (dari Q.S: Al-Baqarah: 201).”

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (HR Bukhari).

 

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ الْجَنَّةُ اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ:

 ، وَمَنْ اسْتَجَارَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ أَجِرْهُ مِنَ النَّارِ

Siapa yang meminta surga 3 kali, maka surga akan berkata: 'Ya Allah, masukkanlah dia ke dalam surga.' Dan siapa yang memohon perlindungan dari neraka 3 kali, maka neraka akan berkata: 'Ya Allah, lindungilah dia dari neraka.

Maka yang benar adalah rasa harap akan surga dan takut akan neraka tidaklah mengurangi keikhlasan seseorang, bahkan hal itu yang merupakan perkara yang di tuntunkan oleh syari’at dan di cintai oleh Allah Ta’ala dan menjadi penyempurna dalam setiap ibadah dan do’a kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 6#

 

6 NASIHAT IMAM AL GHOZALI

 

Asy-Sech Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali  seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, beliau adalah pengarang kitab Ihya’ulumuddin. Suatu hari beliau mengajukan enam pertanyaan pada murid-muridnya

Pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".

 Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman,dan kerabatnya.

Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "mati". Sebab itu sudah janji Allah Swt bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.

Firman Allah Swt, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Qs. Ali Imran 185)

 

Pertanyaan kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"..

 Murid-muridnya ada yang menjawab bulan, matahari, dan bintang-bintang.

Lalu Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah masa lalu.

Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Ada satu Hadis yang dapat kita jadikan motivasi untuk menjadi lebih baik ke depan, termasuk urusan dunia, agama dan kehidupan. Meski derajatnya dhaif (lemah), Hadis ini dapat kita jadikan motivasi untuk beramal.

 مَنۡ كَانَ يَوۡمُهُ خَيۡرًا مِنۡ اَمۡسِهِ فَهُوَ رَابِحُ. وَمَنۡ كَانَ يَوۡمُهُ مثل اَمۡسه فهو مَغۡبُون. ومَن كان يومه شَرًّا مِنۡ امسه فهو مَلۡعُون

"Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat."

Pertanyaan yang ke tiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, lautan dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu"

 وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al A'Raf 179).

 

Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan ke empat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?"

Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban itu benar, kata Imam Ghazali. Tapi yang paling berat adalah "memegang Amanah

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab 72).

 

Ayat ini dimaknai berbeda oleh para ulama Mufassirin. Diantaranya adalah Imam Al-Aufi dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- mereka berkata:

“Yang dimaksud dengan al-amanah adalah, ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawarkan kepada Adam ‘alaihissalam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah berfirman kepada Adam, ‘

‘Sesungguhnya Aku memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya?’ Adam menjawab, ‘Ya Rabbku, apa isinya?’

Maka Allah berfirman, ‘Jika engkau berbuat baik maka engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk maka engkau akan diberi siksa’. Lalu Adam menerimanya dan menanggungnya. Itulah maksud firman Allah, ‘Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh’.”

Kemudian, menurut Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas ra. Ia menyampaikan:

“Amanah adalah kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika mereka menyia-nyiakannya, maka Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, tetapi karena ta’zhim (menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya.”

Kemudian Allah Ta’ala menyerahkannya kepada Adam, maka Adam menerimanya dengan segala konsekwensinya. Itulah maksud dari firman Allah: “Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” yaitu pelanggar perintah Allah”

Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia hidup di dunia ini hanya menjalani ujiannya saja. Lulus atau tidak dalam menjalankan ujian tersebut akan dijawab oleh Allah SWT setelah hari kiamat tiba nanti.

 

Pertanyaan yang ke lima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?". Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan shalat. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan shalat.

Pertanyaan ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, Manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

 Demikianlah para pembaca ulasan tentang enam pertanyaan sekaligus nasehat imam al-Ghazali terhadap murid-muridnya. Mudahan kita bisa mengambil pembelajaran dari nasehat tersebut. Aamii


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 7#

 

MENJAGA HAK ALLOH

 

 

Didalam hadist Nabi Muhammad SAW bersabda :

عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ - عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))

Di dalam hadis ini Rasulllah SAW mewasiatkan beberapa untai kalimat kepada Ibnu ‘Abbas,

؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَJagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu’.

Menurut para ulama, menjaga Allah artinya menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak, perintah-perintah, serta larangan-larangan-Nya. Pemilik kriteria inilah yang disanjung oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya.

هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ

(Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” (QS. Qaf: 32)

a.   Di antara hak-hak Allah yang paling agung yang wajib dijaga oleh seorang hamba adalah memurnikan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya.

b.   Juga termasuk upaya menjaga hak Allah adalah menjaga shalat agar senantiasa tepat pada waktunya.

c.   Menjaga hak Allah adalah menjaga lisan dari segala bentuk kedustaan, perkataan kotor, adu domba, menggunjing, dan menjaga kemaluan serta menundukkan pandangan.

Menurut Ibnu Rajab, penjagaan Allah itu mengandung dua unsur:

1. Allah akan menjaga hamba-Nya yang saleh dengan memenuhi kebutuhan dunianya, (seperti terjaga badan, anak, keluarga, pekerjaan dan hartanya).

2. Allah akan menjaga agama dan imannya, inilah penjagaan yang paling agung dan mulia.

    Seorang hamba tersebut akan terjaga dari perkara syubhat yang menyesatkan dan dari syahwat yang diharamkan.

Mari kita renungkan dan kita tanyakan pada diri sendiri :

 Apakah Alloh selalu menjaga setiap urusan kita, pekerjaan, anak, istri dan keluarga atau sebaliknya Alloh SWT membiarkan kita dalam maksiat, terus berlumuran dosa tanpa menyesali.

  احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ jagalah Alloh, niscaya Alloh akan menjagamu

Al qur’an Surat Asy-Syuro :30 Alloh berfirman

وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu

Maasyiral muslimin Jamaah jum’ah rahimakumullah,

 

Kedua, احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ “Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu

Maksudnya jika engkau menjaga Allah maka Alloh senantiasa di depanmu untuk membimbingmu menuju jalan-jalan kebaikan, serta mencegahmu dari segala keburukan.

 

Adapun Untaian Kalimat Ke3 dan ke 4, إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ “Jika engkau berdo’a, mintalah kepada Allah.”

وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ “Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.”

Artinya, jika engkau hendak menginginkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah, jangan meminta kepada selainya. Dia-lah yang mampu mengabulkan segala permintaan hamba-Nya.

Di samping itu, meminta dan berdoa kepada Allah adalah ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya.  Allah berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu.” (QS.Al Mu’minun: 60)

 

Pantas lah jika kita diperintahkan untuk meminta pertolongan kepada Allah, sebab Dia-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Itulah sebabnya kita diwajibkan untuk berdo’a dalam setiap shalat kita,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. 1: 4)

 

Kelima, وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ

Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu”

 

Rasulullah mengawali untaian ini dengan perkataan, “Ketahuilah”. Ini menunjukkan untaian kalimat ini merupakan kalimat yang penting untuk dipahami.

 

Makna hadis ini, seandainya seluruh manusia atau bahkan seluruh makhluk bersatu untuk memberikan keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu dapatkan, kecuali jika Allah telah menakdirkannya di lauh mahfudz.

Dengan untaian nasihat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita beriman kepada takdir. Pada hakikatnya seluruh manusia tidak bisa memberikan manfaat kepada sesamanya, kecuali dengan takdir Allah.

 

Keenam, وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ

Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.”

 

Ini juga menunjukan bahwa seluruh mara bahaya pada hakikatnya datang dari Allah, terjadi dengan takdir dan kehendak-Nya. Jika demikian halnya maka sudah semestinya kita memohon perlindungan hanya kepada Allah, bukan kepada selainNya. Sebab pada hakikatnya hanya Dia yang mampu mencegah dan mendatangkan mara bahaya.

 

Untaian Kalimat Ketujuh,  رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

 

Yang dimaksud dengan “pena” di sini adalah pena yang menulis seluruh takdir manusia. Sedangkan maksud dari “lembaran-lembaran” adalah lembaran yang digunakan untuk mencatat takdir.

 

Ini artinya seluruh perkara dan kejadian sudah ditetapkan. Apapun yang ditetapkan untuk kita, baik-buruknya pasti akan terjadi. Tidak ada gunanya berkeluh kesah terhadap apa yang menimpa kita. Sebab itu semua datang dari Allah Ta’ala.

 

Dari hadist ini Ada korelasi yang positif : antara Penjagaan kita kepada hak-hak Alloh SWT akan berbanding lurus dengan penjagaan Alloh SWT kepada kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 8#

 

MENITI JALAN ISTIQOMAH

 

A. Perintah Istiqomah

Istiqomah bukan perkara sepele namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Para ulama mendefinisikan istiqomah dengan berjalan di atas ajaran yang lurus dan benar tanpa menyimpang, hal ini mencakup pelaksanaan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang Allah.

Imam ibnu Hajar pernah menjelaskan pengertian Istiqomah dengan menyatakan bahwa “Istiqomah adalah ungkapan dari komitmen kepada perintah Allah baik berupa pelaksanaan ataupun peninggalan.” (fathul Baari 13/257)

Istiqomah merupakan perkara yang sangat penting dan sudah menjadi keharusan kita untuk memberikan perhatian yang besar, sebab Istiqomah menjadi sebab kebahagian dunia dan akherat serta keselamatan dari siksaan Allah Ta’ala.

Sesunguhnya nikmat Allâh Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya tidak terbatas. Di antara nikmat yang paling besar adalah nikmat iman dan islam. Demikian juga nikmat istiqomah di atas iman. Hal ini ditunjukkan oleh hadits di bawah ini:

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqomahlah”. [HR Muslim, no. 38; Ahmad 3/413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972].

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka istiqomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. [Hûd/11:112].

 

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: Pokok istiqomah adalah istiqomah hati di atas tauhid, sebagaimana penjelasan Abu Bakar ash-Shiddîq dan lainnya terhadap firman Allâh:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka”. [al-Ahqâf/46:13].

 

Ketika hati telah istiqomah di atas ma’rifah (pengetahuan) terhadap Allâh, khasyah (takut) kepada Allâh, mengagungkan Allâh, menghormati-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya; maka semua anggota badan juga istiqomah di atas ketaatan kepada-Nya. Karena hati merupaka raja semua anggota badan, dan semua anggota badan merupakan tentara hati. Maka jika raja istiqomah, tentara dan rakyatnya juga istiqomah.

 

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allâh -Rûm/30 ayat 30- ditafsirkan dengan memurnikan niat dan kehendak bagi Allâh semata, tanpa sekutu bagi-Nya.

 

Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. [HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13].

Disebutkan dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id al-Khudri secara marfuu’ dan mauqûf:

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: “Takwalah kepada Allâh di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. [HR Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin 3/17, no. 1521].[2]

 

B. Keutamaan Istiqomah:

Seorang hamba akan mendapatkan semangat di dalam istiqomah dengan mengetahui keutamaannya. Allâh Ta’ala berfirman memberitakan keutamaan besar yang akan diraih oleh orang-orang yang istiqomah:

Firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (30) نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilaat: 30-32)

 

Imam ibnu al-Qayyim menjelaskan pentingnya Istiqomah ini dengan menyatakan: “Istiqomah pada keadaan seseorang seperti kedudukan ruh dari badan; sebagaimana badan apabila tidak ada ruhnya maka jadi mayit, demikian juga satu keadaan tanpa adanya istiqomah maka akan rusak. Keistiqomahan adalah sebab baiknya keadaan, juga menjadi sebab bertambah dan cemerlangnya amalan orang-orang zuhud. Tidak akan cemerlang dan sempurna satu amalan tanpa istiqomah.” (Madarij as-Saalikin 2/109)

Beliau juga menyatakan: “Kekokohan langkah seorang hamba di ash-Shiraat (jembatan) yang dipasang di atas neraka adalah sesuai dengan kokohnya langkah hamba di jalan yang lurus yang Allah tetapkan di dunia ini, demikian juga ukuran berjalannya di atas jembatan ash-Shiraat sesuai dengan ukuran jalannya hamba tersebut di jalan yang lurus di dunia ini.

 

Hendaknya seorang hamba melihat kepada syubhat dan syahwat yang menghalanginya berjalan di atas jalan yang lurus (agama islam yang benar), karena dia sama seperti kaitan-kaitan yang ada di sisi-sisi jembatan shirat yang akan mengait dan menghalanginya untuk melewati jembatan tersebut. Semakin banyak dan kuat syahwat dan syuhbat ini pada hamba maka semakin banyak dan kuat juga di sana. (lihat Tafsir al-Qayyim hlm 109).

Di dalam ayat yang lain Allâh Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿١٣﴾ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allâh”, kemudian mereka tetap istiqomah (teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang shalih) maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (al-Ahqâf /46:13-14).

 

Manusia pasti memiliki kekurangan. Manusia tidak akan mampu melaksanakan agama ini secara menyeluruh dengan sempurna. Oleh karena itulah Allâh Ta’ala memerintahkan istighfar setelah memerintahkan istiqomah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ ۗ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka istiqomahlah (tetaplah pada jalan yang lurus) menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya. [Fush-shilat/41:6].

 

Iman Ibnu Rajab berkata: “Di dalam firman Allâh ‘maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya’, merupakan isyarat bahwa pasti terjadi kekuarangan di dalam (menjalankan) istiqomah yang diperintahkan, maka diperbaiki dengan istighfar yang mengharuskan taubat dan ruju’ menuju istiqomah”

 

C. Sebab-Sebab Istiqomah

Sesungguhnya sebab-sebab istiqomah sangat banyak. Diantara sebab-sebab terpenting yang menjadikan seseorang istiqomah di jalan Allâh Ta’ala ialah sebagai berikut:

1. Merenungkan al-Qur`ân.

2. Mengamalkan agama Allâh.

3. Doa.

4. Dzikir.

5. Pembinaan iman.

6. Meneladani Salafush-Shâlih dan ulama yang istiqomah.

7. Mencintai Allâh dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya.

8. Mencintai dan membenci sesuatu karena Allâh.

9. Saling berwasiat dengan al-haq, kesabaran, dan kasih-sayang.

10. Meyakini masa depan bagi agama Islam.

 

D. Kiat-kiat Mewujudkan Sikap Istiqomah

Asyru Qowa’id fil Istiqamah yang ditulis oleh Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah. Dalam buku tersebut, sang penulis hafizhahullah memaparkan dengan indah, singkat, dan jelas tentang pengertian istiqamah, dan kiat-kiat agar seseorang mampu untuk istiqamah di dalam hidupnya. Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah yang kini telah meraih gelar profesor doktor tersebut, menyebutkan sepuluh bab tentang istiqamah. Kendati buku ini tergolong buku yang tipis (kutaib), namun dengan taufik Allah sang penulis berhasil menjelaskan masalah istiqamah dengan baik melalui 10 bab tersebut, yaitu:

1.   Istiqamah adalah anugerah dari Allah Ta’ala.

2.   Hakikat istiqamah adalah meniti jalan yang lurus (Islam).

3.   Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati.

4.   Istiqamah yang tertuntut adalah sesuai Sunnah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya.

5.   Istiqamah terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat.

6.   Istiqamah tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah, dan dengan pertolongan Allah, serta sesuai dengan perintah Allah.

7.   Seorang hamba, meski bagaimanapun ketinggian tingkat istiqamahnya, maka ia tidak boleh bersandar kepada amalnya.

8.   Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shiroth) pada hari kiamat.

9.   Penghalang istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan.

10.    Tasyabbuh (meniru) orang kafir termasuk penghalang istiqamah terbesar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 9#

 

 

PANDANGAN ISLAM MENGENAI “CIRCLE”

 

 

A. Pengertian Circle

Belakangan ini dimedia sosial cukup ramai pembahasan mengenai “sirkel”. Sebelum jauh pembahasan ini perlu kita ketahui terlebih dahulu pengertian circle.

Sirkel berasal dari kata dalam Bahasa Inggris circle yang secara bahasa artinya lingkaran. Lingkaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah lingkaran atau kelompok pertemanan atau pergaulan yang sering juga disebut komunitas.

 

B. Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Kita

Setelah kita ketahui makna sirkel, berikutnya kita cari tahu apa pengaruhnya sirkel pertemanan terhadap kehidupan kita?

Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari)

Hadits di atas menyebutkan bahwa teman yang baik (shalih) maupun teman teman yang jelek keduanya sama-sama memiliki pengaruh terhadap kehidupan kita.

Setiap orang sedikit banyak dipengaruhi oleh sirkel pertemanannya karena seringnya berkumpul atau aktivitas bersama. Sirkel pertemanan baik pada lingkungan kerja, pendidikan, komunitas, dan sebagainya, dapat berdampak pada individu baik dari cara pandang, selera, perubahan tingkah laku, dan gaya hidup (Pratiwi, 2020).

Hal tersebut selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

 

C. Memilih Sirkel yang Lebih Baik

Islam melalui ajarannya baik dalam Al-Quran ataupun Hadis telah membimbing umat manusia untuk berhati-hati dalam memilih teman. Hal tersebut bukan berarti harus menutup diri dan tidak memperbanyak perkenalan, akan tetapi kita tetap harus hati-hati untuk menentukan teman terdekat atau yang sering disebut dengan ‘circle pertama’.

Memiliki sahabat orang-orang shalih merupakan suatu kenikmatan dan karunia dari Allah yang sangat besar. Dalam Kitab Qutul Qulub Fii Muamalatil Mahbub, Khalifah Umar bin Khattab berkata, “Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka peganglah erat-erat.

Al-Quran menggambarkan sebuah keadaan seseorang yang menyesal karena tidak mengikuti jalan rasul sebab salah dalam memilih teman. Gambaran tersebut diabadikan dalam surah Al-Furqan (25): 27

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيْهِ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِى اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُوْلِ سَبِيْلًا

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit dua jarinya (menyesali perbuatannya) seraya berkata: Wahai sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” Al-Furqan [25]: 28

يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا

“Celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan  si fulan itu teman akrab(ku)

Disebutkan dalam Tafsir Al-Azhar jilid 7, 5026, latar belakang turunnya ayat di atas adalah seorang pemuka Quraisy bernama Uqbah bin Abu Mu’aith. Sebelum memeluk Islam, Uqbah memiliki hubungan sangat baik dengan Rasulullah saw.  Uqbah sering bertukar pikiran dan bergaul dengan Nabi, sehingga ia mengucapkan syahadat.

Setelah kejadian tersebut, ia bertemu dengan teman lamanya yang sangat membenci Rasulullah saw. yaitu Ubayyu bin Khalaf. Temannya tersebut menghasut Uqbah, ia mencela kelemahannya karena meninggalkan kepercayaan nenek moyang yang pada akhirnya Uqbah berbuat kesalahan dengan mencaci maki  dan meludahi muka Rasulullah saw.

Meskipun temannya sangat memuji perbuatan dirinya, namun dalam hati Uqbah menyesal ‘mengapa saya tidak menuruti ajaran Rasul?’ ‘mengapa saya menjadikan si Ubayyu teman?’ akan tetapi kelemahannya menyebabkan kehancuran jiwanya sehingga Uqbah tidak lagi menempuh jalan kebenaran bersama Rasulullah saw sampai akhir hayatnya. Demikian salah satu contoh orang yang zalim yang pada akhirnya di akhirat nanti hanya gigit jari karena menyesal.

 

Ada beberapa cara untuk memasukkan orang-orang yang baik/shaleh ke dalam sirkel pertemanan kita, salah satunya adalah dengan datang ke majelis ilmu.

Majelis ilmu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang insya Allah memiliki tujuan yang sama, yakni: mencari ilmu, dan berusaha untuk memperbaiki diri.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, ”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, ”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR. Tirmidzi)

Dengan datang dan bergabung ke dalam majelis ilmu minimalnya kita dapat bertemu dan berteman dengan orang baik, yang dapat mengingatkan kita tatkala kita berbuat salah—bukan yang membenarkan setiap kesalahan kita agar kelak kita bisa menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Terlebih di zaman di mana orang-orang sudah mulai banyak yang tidak peduli dengan batas halal dan haram dalam muamalah sehari-hari.

Selain itu, kita juga dapat mengajak teman-teman yang lain untuk bergabung ke dalam majelis ilmu yang kita ikuti agar semakin banyak orang-orang baik yang berada di sirkel pertemanan kita. Teringat sebuah pepatah dalam bahasa arab,

الصَّاحِبُ سَاحِبٌ

“Yang namanya sahabat bisa menarik (memengaruhi).”

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل

Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)


Begitu pentingnya seorang teman, ia bahkan menjadi sebuah identitas bagi seseorang. Syeikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim menyampaikan hal ini dalam sebuah syair,

عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ قَرِيْنَهُ #  فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمَقارِنِ يَقْتَدِي

“Tak perlu kau tanya tentang seseorang (siapa dia), cukup tanya siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani.”  

 

Menjadi kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam hal ini memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang sudah mendapat pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang buruk dari teman-temannya.

Hendaknya orangtua memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang tua adalah pemimpin bagikeluarganya, dan setiap pemimpin kan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.

Allah Ta’ala juga berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita dari pengaruh teman-teman yang buruk dan mengumpulkan kita bersama teman-teman yang baik

Namun demikian, akan lebih bagus lagi ketika kita bisa berteman dengan siapa saja, jika berteman dengan orang yang baik, itu adalah anugerah yang harus kita syukuri, namun jika berteman dengan orang yang tidak baik, maka kita lah yang harus berusaha membawa kemanfaatan padanya dengan mengajaknya menjadi baik.

Semoga kita bisa menjadi teman yang baik untuk orang lain dan memiliki teman yang baik untuk diri kita sendiri, sehingga kita semua termasuk orang yang benar-benar beriman dan berjalan di barisan bersama Rasulullah saw. pada hari ketika tidak ada teman. Ya Allah, jauhkan kami untuk menjadi seseorang yang zalim, yang hanya bisa gigit jari pada hari akhir karena penyesalan pertemanan yang tiada berarti. Wallahu a’lam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Chapter 10#

 

 

PENTINGNYA SABAR

 

 

A. Kepastian Ujian Hidup

Firman Allah SWT:

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ 

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan dengan suatu ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.” (Q.S. Al-Baqarah 155-156).

 

B. Perintah Sabar

Sebagai orang yang beriman kepada-Nya, kita pun diperintahkan untuk senantiasa bersabar selama menjalani ujian-ujian tersebut karena dengan kesabaran dan tawakal seluruh ujian atau cobaan dan musibah tersebut bisa dilalui dengan baik, membawa kebaikan, dan keberkahan. Pada dasarnya Allah telah memberi ujian dan cobaan di setiap hambanya sesuai porsinya masing-masing.

 

Bersabar merupakan perintah Alloh SWT kepada hambaNya, Allah Subhanahu Wata’ala  berfirman:

ياَأيهَا  الَّذِينَ  اٰمَنُوا اصْبِرُوْا  وَصَابِرُوْا وَ رَابِطُوْا وَاتَّقُوا  اللّٰهَ  لَعَلَّكُمْ  تُفْلِحُوْنَ۠ (۲۰۰)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. (QS. Ali Imran /3: 200)

Al-hasan al-bashri rahimahullah  berkata “ mereka diperintahkan agar bersabar diatas agama mereka yang telah Allah meridhoi untuk mereka,  yaitu agama Islam. Jangan  sampai mereka meninggalkannya dengan sebab senang atau susah,  Sejahtera, sehingga mereka bisa mati dalam keadaan sebagai orang-orang Islam.  dan dan agar mereka menambah kesabaran menghadapi musuh-musuh yang menyembunyikan agama mereka. tafsir Ibnu Katsir, Surat Ali Imran

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ 

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'." Surat Al Baqoroh : 45

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Surat Al-Baqarah Ayat 153

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." Surat Al-Baqarah Ayat 155

 

وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Surat Al-Anfal Ayat 46

 

Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa sabar adalah separuh dari keimanan. Rasulullah ﷺ  mengatakan, dari Anas bin Malik,

الْإِيمَانُ نِصْفَانِ نِصْفٌ فِي الصَّبْرِ، وَنِصْفٌ فِي الشُّكْرِ

Iman itu ada dua, separuhnya ada pada sabar, dan separuhnya ada pada syukur

 

 

Allah SWT telah menjanjikan beragam hal bagi mereka yang mampu sabar dalam menghadapi kesulitan hidup.

 

C . Tingkatan Sabar

Ada tiga tingkatan sabar yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Seperti dalam kitab as-Shabru wa Tsawâb ‘alaihi, Syekh Ibnu Abid Dunya mencantumkan sebuah hadis riwayat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصَّبْرُ ثَلَاثٌ: فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، فَمَنْ صَبَرَ عَلَى الْمُصِيبَةِ حَتَّى يَرُدَّهَا بِحُسْنِ عَزَائِهَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلَاثَمِائَةِ دَرَجَةٍ بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ، وَمَنْ صَبَرَ عَلَى الطَّاعَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ سِتَّمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ، وَمِنْ صَبَرَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ تِسْعَمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ إِلَى الدَّرَجَةِ كَمَا بَيْنَ تُخُومِ الْأَرْضِ إِلَى مُنْتَهَى الْعَرْشِ مَرَّتَيْنِ  

 “Sabar ada tiga tingkatan; sabar atas musibah, sabar dalam menjalani ketaatan, dan sabar dari laku kemaksiatan. Siapa saja yang sabar menghadapi musibah, sampai ia mampu merestorasinya sebaik mungkin, Allah akan mengangkat 300 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara langit dan bumi.

Dan, yang bersabar dalam menjalani ketaatan, Allah mengangkat 600 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sejauh antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy.
Sedangkan, bagi yang bersabar dari laku kemaksiatan, Allah mengangkat 900 derajatnya. Di mana, satu dengan lainnya berjarak sekitar dua kali lipat antara lapisan-lapisan bumi dan batas (ketinggian) ‘arsy.”

 

1.     Sabar menghadapi musibah.

Seperti yang telah diketahui, sebagai umat muslim, takdir Allah ada dua macam, yaitu takdir yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan (musibah). Bagi siapa pun yang mendapat takdir baik, maka hendaklah bersyukur. Tapi bagi yang sedang menghadapi musibah, maka hendaklah bersabar.

Allah Subhanahu Wata’ala telah memberikan bahwa dia pasti akan menguji para hambanya dengan berbagai musibah, maka kewajiban hamba adalah bersabar menghadapinya.

Allah Subhanahu Wata’ala juga memberi memberitakan bahwa diantara sifat orang-orang yang bertakwa adalah :

وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ  أُولئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ  وَأُولئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

Artinya: Dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan penderitaan dan dalam peperangan. mereka itulah orang-orang yang benar imannya; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS.al- Baqarah:177)

 

Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:

‎ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنيا إلَّا بلاءٌ وفتنةٌ

“Tak ada yang tersisa dari dunia ini kecuali cobaan dan ujian”. ( Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah No. 3276 )

 

Ibnu Rajab rahimahullah :

اِنْتِظَارُ الْفَرَجِ بِالصَّبْرِ عِبَادَةً ؛ فَإِنَّ الْبَلَاءَ لَا يَدُومُ

“Sabar menunggu jalan keluar adalah ibadah, karena musibah itu tidak akan kekal.”

(Majmuu Rasaail Ibnu Rajab, 3/155)

 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

 وَأَفْضَلُ الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ

 "Sebaik baik Ibadah adalah menunggu jalan keluar (solusi) (riwayat At-Tirmidzi).

Dalam hadis lain disebutkan :

 وَاعْلَمْ أنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الفَرَجَ مَعَ الكَربِ، وَأَنَّ مَعَ العُسرِ يُسراً

"Dan ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran. Jalan keluar itu bersama penderitaan. Dan kesulitan itu disertai kemudahan”. (Riwayat At-Tirmidzi)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memberi memberitakan tentang keadaan orang mukmin yang mengherankan, yaitu karena semua urusannya baik baginya. Sebagaimana dalam sabdanya:

عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له

Artinya: “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini meskipun didapati pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik-baik saja. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik-baik saja. (HR. Muslim, no. 2999)

 

Nasihat bersabar dari Rasul saat menghadapi musibah dapat dipelajari dari hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Beliau berkata:

مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »

     “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, (Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah). Kemudian wanita itu berkata, (Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya). Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kemudian wanita ini berkata, (Aku belum mengenalmu). Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, (Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah).” (HR. Bukhari)


Abdul Malik bin Abjar rahimahullah berkata dalam kitab Shifat Ash-Shafwah sebgai beikut :

مَا مِنَ النَّاسِ إِلَّا مُبْتَلَى بِعَافِيَةٍ لِيُنْظَرَ كَيْفَ شُكْرُهُ أَوْ مُبْتَلَى بِبَلِيَّةٍ لِيُنْظَرَ كَيْفَ صَبْرُهُ

“Manusia pasti diuji dengan kesehatan untuk dilihat bagaimana wujud syukurnya, atau di uji dengan bencana untuk dilihat sejauh mana kesabarannya.”

Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan, dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Oleh karena itu, barang siapa rida (menerima cobaan tersebut) maka baginya keridaan, dan barang siapa murka maka baginya kemurkaan.”

 

2.     Bersabar tidak melakukan maksiat.

Setiap saat seorang muslim pasti selalu mendapat godaan dari makhluk yang terlihat nyata atau pun makhluk yang gaib untuk melakukan maksiat. Baik itu perbuatan dosa kecil maupun besar, seorang muslim harusnya sabar untuk menahan diri. Dosa-dosa yang tidak sengaja dilakukan seperti melihat yang tidak seharusnya dilihat dan menggunjing orang lain termasuk perbuatan yang harusnya dihindari.

Para ulama mengatakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam lari karena takut tidak bisa lagi menahan dirinya. Sementara kata Allah ﷻ,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا

Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya.” (QS. Yusuf : 24)

Nabi Yusuf ‘alaihissalam sebagai manusia biasa juga ternyata telah tergerak syahwatnya melihat wanita yang begitu cantik di hadapannya. Akan tetapi dia memilih untuk kabur dan lari meninggalkan wanita tersebut. Sungguh ujian yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam sangatlah luar biasa, siapakah pemuda di zaman sekarang yang bisa seperti Nabi Yusuf ‘alaihissalam? Jangankan digoda oleh wanita cantik, mungkin digoda oleh wanita biasa saja pun dia sudah tidak bisa menahan dirinya.

 

Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan di zaman sekarang yang penuh fitnah ini sungguh tidaklah mudah. Akan tetapi kita membutuhkan perjuangan agar bisa menghindarkan diri dari kemaksiatan tersebut. Ada beberapa hal yang disebutkan oleh para ulama bahwa bersabar dari kemaksiatan bisa ditempuh dengan tiga cara,

a.      Karena takut kepada Allah

Betapa banyak orang yang sedang melakukan kemaksiatan kemudian Allah ﷻ mencabut nyawanya tatkala itu juga. Kita tidak pernah tahu kapan Allah ﷻ mencabut nyawa kita. Ketika kita meninggal dalam keadaan bermaksiat, maka kita meninggal dalam keadaan suulkhatimah (mati yang buruk). Mungkin terbetik di dalam benak kita bahwa kita ingin bertaubat dari kemaksiatan yang dilakukan. Akan tetapi adakah jaminan bahwa kita meninggal dalam keadaan telah bertaubat? Atau meninggal tatkala sedang bermaksiat kepada Allah ﷻ? Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,

قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Katakanlah (Muhammad), “Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.” (QS. Al-An’am : 15)

Maka dari itu hendaknya seseorang merenungkan hal tersebut, agar dia bisa meninggalkan kemaksiatan. Karena bisa saja Allah menurunkan azab atau mencabut nyawanya tatkala melakukan kemaksiatan. Rasa takut kepada Allah ﷻ ini bisa membuat kita berhenti atau bersabar untuk meninggalkan kemaksiatan.

b.       Karena malu kepada Allah

Di antara yang bisa membuat seseorang bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan adalah rasa malu kepada Allah ﷻ. Malu jika dengan banyaknya kenikmatan yang Allah berikan, sedangkan kita menggunakannya untuk membangkang dari perintah Allah ﷻ. Oleh karenanya tatkala Nabi Yusuf ‘alaihissalam digoda oleh Zulaikha, beliau mengatakan,

مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ

Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” (QS. Yusuf : 23)

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam

 إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ada dua, pertama bahwa tuannya telah berbuat baik kepadanya, sehingga tidak mungkin dia mengkhianati tuannya. Kedua bahwa Allah ﷻ telah memberinya banyak kenikmatan, sehingga tidak pantas bagi beliau untuk membangkang dari perintahnya dan melakukan zina dengan Zulaikha.

Bukankah Allah ﷻ telah memberikan banyak kenikmatan kepada kita? Allah ﷻ berfirman,

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ

“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad : 8-9)

Allah ﷻ telah memberikan kepada kita nikmat penglihatan, akan tetapi kita gunakan untuk melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ? Allah ﷻ juga telah memberikan kita nikmat lisan, akan tetapi kita gunakan untuk gibah, namimah dan yang ….lainnya? Sungguh banyak kenikmatan yang lain, akan tetapi seharusnya kita malu jika nikmat yang Allah ﷻ berikan tersebut kita gunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.

Oleh karenanya di antara cara agar seseorang bisa bersabar dalam meninggalkan maksiat adalah rasa malu kepada Allah ﷻ. Jika kita ingin kenikmatan itu terjaga pada diri kita, hendaknya kita meninggalkan maksiat. Seorang penyair berkata,

إِذَا كُنْتَ فِي نِعْمَةٍ فَارْعَهَا … فَإِنَّ الذُّنُوبَ تُزِيلُ النِّعَمْ

Apabila engkau dalam kenikmatan maka jagalah. Sesungguhnya dosa-dosa bisa menghilangkan kenikmatan.”

Oleh karenanya Nabi ﷺ  juga mengatakan,

اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ

Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu.”([5])

Latihlah diri kita untuk merasa malu kepada Allah ﷻ. Jika kesehatan, pandangan, dan kenikmatan yang lain adalah pemberian Allah ﷻ, lantas mengapa kemudian kita menggunakannya untuk membangkang dan bermaksiat kepada Allah ﷻ.

c.       Karena cinta kepada Allah

Di antara cara seseorang bisa bersabar meninggalkan maksiat adalah karena rasa cinta kepada Allah ﷻ. Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika kita telah mencintai seseorang, maka pasti apa pun yang diperintahkan oleh orang yang kita cintai akan kita kerjakan. Contohnya adalah seorang suami yang mencintai istrinya, maka pasti apa pun yang diperintahkan oleh sang istri akan dituruti oleh sang suami, selama dia bisa melakukannya. Apa pun yang dilarang oleh istri terkadang akan dituruti oleh suami. Ini semua karena dasar cinta sang suami kepada sang istri. Demikian juga seseorang yang mencintai Allah ﷻ, apa pun yang Allah ﷻ larang, hendaknya tidak dilakukan.

Bukti seseorang mencintai Allah ﷻ adalah dia melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Allah ﷻ, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah ﷻ. Dengan melakukan ini pula, seseorang bisa mendapatkan cinta Allah ﷻ. Ketahuilah bahwa setiap kali seseorang bermaksiat, maka dia telah menghilangkan kecintaannya kepada Allah dari dirinya. Semakin dia bermaksiat, maka akan semakin jauh dia dari Allah ﷻ. Sedangkan kita tidak ingin jauh dari Allah ﷻ, karena jauh dari-Nya adalah sebuah musibah.

Betapa banyak orang yang mengaku cinta kepada Allah ﷻ, akan tetapi tidak ada bukti cintanya. Malah sebaliknya yang dia lakukan adalah bermaksiat kepada Allah ﷻ, yang itu bukti bahwa dia tidak cinta kepada Allah ﷻ. Sesungguhnya konsekuensi dari orang yang mencintai Allah ﷻ adalah apa yang diperintahkan oleh Allah dia kerjakan, dan apa yang dilarang oleh Allah dia tinggalkan.

Inilah model kedua dari kesabaran dan tidak kalah pentingnya, yaitu bersabar meninggalkan maksiat karena Allah ﷻ.

 

 

3.     Sabar menjalani ketaatan

Banyak ayat Al-qur’an yang memerintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan  kepadanya. 

Sabar dalam menjalankan ketaatan bukanlah perkara yang mudah. Salat berjamaah lima waktu di masjid tidaklah mudah. Memerintahkan keluarga untuk salat juga tidak mudah. Semuanya bisa dilakukan hanya dengan kesabaran. Oleh karenanya Allah ﷻ mengatakan,

 

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha : 132)

 

Allah ﷻ selanjutnya memerintahkan sabar dalam taat silaturohim:,

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

Dan orang-orang yang menyambung (silaturahmi) terhadap apa yang diperintahkan Allah agar dia menyambungnya, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Al-Ra’d : 21)

Menyambung silaturahmi bukanlah perkara yang mudah. Silaturahmi itu butuh kesabaran. Di antara silaturahmi yang teragung adalah berbakti kepada orang tua. Oleh karenanya tatkala ada orang yang meminta izin untuk ikut berjihad bersama Rasulullah ﷺ , beliau ﷺ  berkata,

أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab: “Iya”. Maka Beliau berkata: “Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti).” ([3])

 

Sabar menjalankan ketaatan :

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak (membalas) kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’d : 22)

Orang-orang yang bersabar karena mengharap wajah Allah ﷻ, mendirikan salat, berinfak dan bersedekah, semuanya bisa dilakukan dengan kesabaran. Terlebih lagi membalas keburukan dengan kebaikan juga lebih-lebih membutuhkan kesabaran. Oleh karenanya dari semua ciri-ciri ini, di akhir ayat Allah mengatakan bahwa malaikat akan memberi selamat kepada mereka atas kesabaran mereka.

 

Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَات

Artinya: Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disukai oleh hawa nafsu manusia sedangkan neraka dikelilingi oleh perkara-perkara yang disukai. (HR. Muslim)

Imam Ibnu Qudamah  al-maqdisi rahimakumullah mengatakan, “seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam melakukan ketaatan ketaatan, karena tapi jiwa manusia berpaling dari peribadahan.  kemudian diantara ibadah-ibadah ada yang tidak disukai dengan sebab malas seperti shalat.  dan diantara ibadah-ibadah ada yang tidak disukai dengan sebab bakhil, seperti zakat.  dan diantara ibadah-ibadah ada yang tidak disukai dengan sebab keduanya jiwa dan harta seperti Haji dan Jihad titik seorang yang mencari Ridha Allah Subhanahu Wata’ala membutuhkan kesabaran melakukan ketaatan ketaatan di dalam tiga keadaan:

 

Sabar adalah penolong umat muslim. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 153, yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

     “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)

 

D. Fadhilah Orang yang Sabar

Berikut ini hadits dan keutamaannya jika kita bersikap sabar di situasi apa pun.

1. Sabar membuat kita dapat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW

عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ 

"Dari Usaid bin Hudlair radliallahu anhum; ada seseorang dari kalangan Anshar yang berkata; 'Wahai Rasulullah, tidakkah sepatutnya baginda mempekerjakanku sebagaimana baginda telah mempekerjakan si fulan?'. Beliau menjawab: 'Sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap-sikap utsrah (individualis, egoism, orang yang mementingkan dirinya sendiri). Maka itu bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku di telaga al-Haudl (di surga).'" ( HR. Bukhari ) [ No. 3792 Fathul Bari] Shahih.

 

 

 

 

 

2. Bersikap sabar dapat mendapat ganjaran surga

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةُ

"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Allah Ta'ala berfirman: Tidak ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali surga.'" (HR. Bukhari) [ No. 6424 Fathul Bari] Shahih.

 

3. Sifat sabar mencegah kita dari kemungkaran

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَمَّا نَزَلَتْ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ فَكُتِبَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَقَالَ سُفْيَانُ غَيْرَ مَرَّةٍ أَنْ لَا يَفِرَّ عِشْرُونَ مِنْ مِائَتَيْنِ ثُمَّ نَزَلَتْ الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ الْآيَةَ فَكَتَبَ أَنْ لَا يَفِرَّ مِائَةٌ مِنْ مِائَتَيْنِ وَزَادَ سُفْيَانُ مَرَّةً نَزَلَتْ حَرِّضْ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ قَالَ سُفْيَانُ وَقَالَ ابْنُ شُبْرُمَةَ وَأُرَى الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ مِثْلَ هَذَا 

"Dari Ibnu Abbas radliallahu anhuma tatkala turun ayat: 'Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir…' (Surat Al Anfal: 65). Maka diwajibkan kepada mereka tidak ada seorang pun yang lari dari sepuluh orang. 

Abu Sufyan berkali-kali mengatakan: 'Jangan sampai ada yang lari dua puluh orang dari dua ratus orang.' Kemudian turunlah ayat: 'Sekarang Allah telah meringankan kepadamu.' (Al Anfal: 66). Maka diwajibkan jangan sampai ada yang lari sebanyak seratus orang dari dua ratus orang. Sufyan menambahkan juga; telah turun ayat; 'Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu...' (Al Anfal: 65). Sufyan berkata; dan Ibnu Syubrumah berkata; 'Aku melihat seperti inilah menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.'" (HR. Bukhari) [No. 4652 Fathul Bari] Shahih.

 

4. Allah SWT menjanjikan ganjaran kebaikan bagi hamba-Nya yang sabar

وقال عليه الصلاة والسلام: {إذَا حَدثَ عَلى عَبْدٍ مُصِيبَةٌ في بَدَنِهِ أوْ مَالِهِ أو وَلَدِهِ فاسْتَقْبَلَ ذٰلِكَ بِصَبْرٍ جَمِيلٍ اسْتَحْيَا الله يَوْمَ القِيَامَةِ أَنْ يَنْصِبَ لَهُ مِيزانا أوْ يَنْشُرَ لَهُ دِيوانا 

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda: 'Ketika terjadi musibah pada seorang hamba, baik pada badannya, hartanya atau anaknya kemudian dia menghadapinya dengan kesabaran yang baik, maka pada hari kiamat Allah malu untuk memasang timbangan baginya dan malu untuk membentangkan buku catatan amalannya.'"

5. Mendapat taufiq dari Allah SWT

وقال عليه الصلاة والسلام: {الصَّبْرُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجُهٍ: صَبْرٌ عَلَى الفَرَائِضِ، وصَبْرٌ عَلَى المُصِيبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى أذَى النَّاسِ، وصَبْرٌ عَلَى الفَقْرِ. فَالصَّبْرُ عَلَى الفَرائِضِ تَوْفِيقٌ، وَالصَّبْرُ عَلَى المُصِيبَةِ مَثُوبَةٌ، وَالصَّبْرُ عَلَى أذَى النَّاسِ مَحَبَّةٌ، والصَّبْرُ عَلَى الفَقْرِ رِضَا الله تَعَالى

"Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda: 'Sabar itu ada empat: sabar dalam menjalankan fardhu, sabar dalam menghadapi musibah, sabar menghadapi gangguan manusia dan sabar dalam kefakiran. Sabar dalam menjalankan kewajiban adalah taufiq, sabar dalam menghadapi musibah berpahala, sabar dalam menghadapi gangguan manusia adalah cinta dan sabar dalam kefakiran adalah ridho Allah ta'ala.''

6. Dengan sabar, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari seisi dunia

وقال عليه الصلاة والسلام: {صَبْرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيها}.

"Nabi saw bersabda: 'Sabar sesaat itu lebih baik dari dunia seisinya.'"

 

7. Mendapat pahala sebesar 70 derajat

وقال عليه الصلاة والسلام: {الصَّبْرُ عِنْدَ المُصِيبَةِ بِتِسْعمَائة دَرَجَةٍ}.

"Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda: 'Sabar ketika mendapat musibah itu memperoleh tujuh ratus derajat.'"

 

8. Sabar adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT

وقال صلى الله عليه وسلم: {أَوْحَى الله تَعَالى إلى مُوسَى بنِ عمْرَانِ عَلَيْهِمَا السَّلامُ يَا مُوسَى مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِي وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بلائي وَلَمْ يَشْكُرْ نَعمائي فَلْيَخْرُجْ مِنْ بَيْنِ أَرضي وَسَمَائِي وَلْيَطْلُبْ لَهُ رَبّا سِوائِي

"Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda: 'Allah ta'ala mewahyukan kepada Musa bin Imran -alaihimas salaam-: 'Hai Musa, barang siapa tidak ridho dengan takdir-Ku, tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku, maka keluarlah dari antara bumi dan langit-Ku, dan carilah Tuhan selain-Ku.'"

 

9. Mendapatkan pahala terbaik dibandingkan dengan apa yang telah kita kerjakan sebelumnya

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ ۗ وَلَنَجْزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓا۟ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

"Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl ayat 96).

 

10. Mendapatkan pahala yang tiada batasnya

قُلْ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ 

"Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu'. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (Az-Zumar ayat 10).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber :

 

Disarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 42-43.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dll, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 20.

Bahraen, R. (2021). Apapun Keadaannya, Jangan Pernah Tinggalkan Majelis Ilmu.

Lathifah, R. (2020). Titik-Titik Transformasi Dalam Hidup: A Self-Discovery Journey. Malang: Litera Media Tama

Pratiwi, B. F. N., & Dwijayanti, R. (2020). Pengaruh Gaya Hidup dan Kelompok Acuan Terhadap Keputusan Pembelian: Studi pada Konsumen Kedai Kopi Ruang Temu Kabupaten Tulungagung. Jurnal Pendidikan Tata Niaga (JPTN), 8(2), 1502. ISSN 2337-6078